Finish

Ilustrasi (g. net)
Cerpen Dirga Putri
“Hah!!” Aku bangun dari tidurku dengan wajah terkejut. Keringat bercucuran dan aku merasa panas. Aku…..mimpi buruk lagi. Aku terkejut saat melihat keluar jendela. Di luar terlihat ada begitu banyak pohon-pohon besar. Ah, aku lupa, ternyata saat ini aku, ayah dan ibu berada di rumah nenek. Aku bahkan sudah berada di sini sejak 5 hari yang lalu. Bagi mereka yang baru pertama kali datang kemari mungkin akan beranggapan bagaimana bisa seseorang tinggal di tempat yang seperti ini. Tak banyak orang yang tinggal di sekitar rumah nenek, jika melihat k ekiri dan k ekanan, disamping rumah nenek bukan lah rumah – rumah para tetangga, tapi hanya sekumpulan pohon-pohon besar. Sampai sekarang aku tak pernah tau jenis dan nama pohon – pohon ini. Bentuk rumah nenek yang sudah tua menjadikan rumah nenek tampak menakutkan, dan seakan-akan dihuni oleh makhluk halus menyeramkan.
Besok adalah hari peringatan kematian nenek, karena itulah kami di sini. Konon katanya, masyarakat di sini mempercayai bahwa 10 hari sebelum peringatan kematian, para roh akan kembali ke rumah atau ke tempat yang mereka sukai. Aku rasa ayah dan ibu juga mempercayai hal itu, tapi tidak bagiku. Aku mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pandanganku tertuju pada seorang gadis yang telah menjadi pusat perhatianku beberapa hari ini. Gadis yang selalu memakai pakaian berwarna putih itu berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba saja “ah” aku sedikit terperanjat dari posisi dudukku. Aku terkejut saat melihatnya jatuh. Bagaimana bisa seseorang yg hanya berjalan sangat pelan itu, bisa terjatuh? Gadis itu terduduk selama beberapa detik. Anehnya, orang-orang yg berjalan di sekitarnya hanya melewatinya saja, mereka seperti tak melihat gadis itu. Mengabaikannya.
“Junior, ayo makan!!” teriak ibu.
“Iya, bu” jawabku sambil berlari keluar kamar, menuruni tangga dan menuju ruang makan.
“Pagi ayah,” sapaku pada ayah sesaat setelah kududuk. Tak ada respon dari ayah, kenapa? Aku memikirkan hal itu. Sudah hampir 3 tahun aku dan ayah tak saling bicara, lebih tepatnya ayah yang tak pernah mau berbicara pada ku. Ayah seperti tak melihat dan mendengarku. Dan kenapa ayah selalu membaca koran yg sama setiap pagi sejak 3 tahun belakangan ini? Pagi ini juga demikian. Setelah selesai makan, aku berjalan ke ruang tengah dan melihat keluar jendela ke arah sungai yang terlihat jelas dari dalam rumah. Sepertinya tak begitu jauh dari tempat ini.
“Ibu, aku akan bermain di sungai,” kataku pada ibu.
“Baiklah, hati – hati.”
Aku melihat ayah menghela nafas sambil menatap ibu dengan wajah yang sedih.
“Aku pergi,” kata ku sambil berlari pergi.
Setibanya di tepi sungai, aku melihat sebuah pohon yang sangat besar, ada sebuah ayunan yang tergantung di salah satu dahannya. Tampak seseorang berdiri menatap ayunan itu dan membelakangiku. Seseorang yang tak asing bagiku, seorang gadis yang selalu ku perhatikan.
“.Hai…,” sapaku pada gadis berambut panjang ini. Gadis itu berbalik badan dan menatapku.
Tiba – tiba saja ekspresi wajahnya berubah, ia tampak terkejut. Tatapan matanya seakan-akan memberiku isyarat jika ia mengenalku.
“Apa kau mengenalku?” tanyaku dengan perasaan aneh.
Perlahan-lahan gadis itu mendekat padaku. Kira-kira jarak kami hanya 2 langkah lebih jauh. Aku sedikit terkejut saat ia mengangguk.
“Kau junior kan?” tanyanya dengan suara yang amat lembut. Jika laki – laki yang merasa normal, maka mereka akan langsung jatuh hati hanya dengan mendengar suaranya.
“Kau tau nama ku?” mungkin aku bukan lah salah satu dari laki – laki normal itu, karena yang aku melihat ini hanyalah seorang gadis yang amat misterius.
“Sepertinya kau sudah melupakan aku. Aku Ami,” sambungnya.
“Ah, bagaimana mungkin aku melupakan gadis cantik sepertimu,” tapi aku benar-benar tak merasa mengenalnya.
Ami tersenyum lalu berkata, “aku senang, akhirnya ada orang yang mau bicara padaku”, “Kenapa? Apa kau tidak punya keluarga ataupun teman?” Aku semakin penasaran pada gadis ini. Ami hanya menundukan kepalanya dengan wajah yg sedih, mungkin tak seharusnya aku bertanya seperti itu.
“Ah, bagaimana jika kita berteman? Mungkin aku bukan orang yang baik, tapi aku bisa menjadi teman terbaik untukmu,” aku mengeluarkan senyum termanis, agar Ami tak memasang wajah sedih itu lagi.
“Aku tak yakin, apakah kita bisa berteman? Kau dan aku berada di dunia yang berbeda.”
Jawaban Ami ini cukup membuat ku merinding. ‘Dunia yg berbeda’ apa maksudnya itu? Aku tak punya keberanian untuk menanyakannya kepada Ami, karena aku tau kadang kebenaran itu menyakitkan. Kau tau hal apa yang paling menakutkan di dunia ini? ‘Kebenaran’.
***
Keesokan harinya aku terbangun dari tidurku. Hari ini adalah hari peringatan kematian nenek, aku melihat satu set pakaian berwara putih di atas meja. Aku sedikit bingung, biasanya dikeluargaku saat memperingati hari kematian. Kami selalu memakai pakaian berwarna hitam, tapi kenapa hari ini ibu menyiapkan pakaian berwarna putih? Aku keluar dari kamarku dan segera menuju ruang tengah. Langkahku terhenti saat melihat ayah dan ibu.
“Ibu, kau harus menerima ini. Dia sudah tidak bersama kita lagi,” kata ayah dengan nada suara yang berat, apa yang ayah maksudkan itu adalah nenek?
“Tidak ayah, dia di sini, dia bersama kita. Sekarang dia berdiri di depanku, dan menatap kita.”
Aku terkejut saat ibu berbicara sambil menatap ku dengan air mata yang mengalir deras dari matanya. Aku menoleh ke belakang, tapi tidak ada seorang pun di belakangku. Lalu aku perhatikan tubuh ku sejenak, apa yang ada dalam pikiranku? Tidak mungkin yang dimaksudkan ibu itu adalah aku.
Seketika tubuhku menjadi lemas saat melihat foto yang bertuliskan ‘GILBERT JUNIOR’ nama ku, di tengah-tengah tumpukan bunga krisan. Aku benar – benar tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi? Aku mencoba untuk berteriak sekuat tenaga, tapi ayah dan ibu hanya diam seolah – olah mereka tidak mendengarku. Aku takut, aku benar – benar takut. Aku berlari pergi keluar rumah dan berlari menuju sungai, berharap akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikiranku. Lagi-lagi aku terkejut saat melihat pohon besar yang kulihat kemarin berdiri kokoh, kini telah tumbang dan mati. Seakan – akan pohon ini telah mati sejak lama. Aku menangis sekeras-kerasnya berharap semua yang aku fikirkan adalah kebohongan.
“Inilah kenyataannya,” tiba-tiba saja Ami sudah berada di sampingku.
Aku tak sanggup berkata apa – apa. Lidah ku seperti terputus dan suaraku tiba – tiba menghilang, Ami mulai menangis. Perlahan-lahan aku mulai mengerti sekarang. Aku mengerti kenapa ayah tak pernah berbicara atau pun menghiraukanku, karena ayah memang tak mendengar dan melihatku. Ibu yang selalu berbicara dan menganggapku ada karena dia tidak pernah bisa dan tak pernah merelakan kepergianku. Dan aku tau kenapa ayah selalu membaca koran yang sama di setiap pagi ‘seorang remaja meninggal di usia 12 tahun, karena tertimpa sebuah pohon’ terdengar lucu, tapi bagi ayah itu adalah kejadian yang menghancurkan hatinya, kejadian yang telah merenggut nyawa anak satu-satunya yang ia punya.
Aku ingat tentang Ami, dia adalah teman ku satu-satunya, seseorang yang mencoba berbicara padaku saat aku pertama kali datang ke desa ini. Kenapa semua orang menjauhi Ami ? Karena Ami bisa melihat dan mendengar orang sepertiku, orang yang tak punya jiwa maupun raga, hanya sebuah bayangan yang nyata. Warna kesukaan ku adalah putih, Ami tak melupakan hal itu.
“Ini benar-benar menyedihkan,” aku tatap pohon mati yang juga membawaku mati.
Ami berkata, “Junior, kadang sesuatu yang terlihat itu bukanlah kenyataan. Sekarang sudah saatnya kau untuk pergi, pergilah dengan tenang. Kau akan selalu ada di hati ibu, ayah, dan di hatiku. Aku bahagia memiliki teman yang terbaik sepertimu. Selamat jalan teman baikku.”
Bayangan itu pun lenyap.
Dirga Putri adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak, semester 2.