Pintu Takdir

Oleh Zulvanny

“Halo kak, bagaimana kabarmu?”

Kartu kecil yang sudah mulai berdebu itu masih tergeletak di samping nampan piring kosong di atas nakas kamarku. Terakhir kali adikku datang ke kamarku yaitu setahun yang lalu. Membawakan makanan dengan sebuah kartu terselip di bawah mangkuk sup. Esoknya dia tak pernah datang lagi.

Adikku, namanya Dika, dia baru berusia 22 tahun waktu itu. Fresh Graduated, fasilkom, jurusan apa aku tidak tahu pasti.. Yang aku ingat hanya badannya yang tinggi kurus, dengan potongan rambut belah poni yang terlihat culun. Bagiku dia adalah laki-laki paling tidak modis di dunia, adik kandungku sekaligus satu-satunya saudaraku.

“Kak, aku buatkan sup wortel kesukaan kakak!” ucapnya waktu itu ketika masuk kamar tanpa izin. Aku sedang sakit parah waktu itu dan tak sanggup bangkit dari tempat tidur. Jadi dia menegakkan bantal di kepala tempat tidur agar aku bisa duduk bersandar.

Sup itu penuh dengan wortel dan terlihat tidak menggiurkan. Aku hampir bisa merasakan kerasnya wortel di lidahku nanti. Tapi karena adikku sudah susah payah membuatkannya, aku sudi mencobanya.

Aku memegang sendok dan mencicip kuahnya yang bening. Hangat sedikit, tidak menyakiti lidah. Dan rasa kaldunya sangat terasa. Sebuah perkembangan.

“Bagaimana rasanya kak?” tanya Dika, gembira melihatku mau makan. Dia pasti sudah mendengar dari Bi Ati bahwa aku tak nafsu makan dua hari ini.

“Enak,” jawabku cepat agar dia lebih ceria. Lalu aku menyendok wortelnya, dan terkejut sendiri sewaktu wortel itu begitu lunak di mulut. Rasanya lumayan. Adikku pasti keasyikan bermain game online sambil berkata “bentar kompor, bentar lagi selesai!” saat ia memasak sup ini.

“Baguslah kalau begitu,” ia menunduk dengan senyum lebar, menatap kedua tangannya yang terkait gelisah.

“O iya kak, kapan kita bisa jalan-jalan keluar? Dika dengar taman di Jam Gadang sudah direnovasi..”

“Hmm.. Kapan ya? Sekarang kakak kan lagi sakit..” ujarku pelan. Aku memalingkan wajah ke jendela,  menatap langit di luar yang agak mendung di kelilingi awan-awan berwarna abu-abu. Persis seperti warna awan yang kugambar sewaktu TK dulu.

Tatapan Dika jatuh ke kedua kakinya yang terbalut kaus kaki yang juga berwarna abu-abu. “Maksud Dika, setelah kakak sembuh nanti..” koreksinya.

“Oh.. Tentu bisa suatu hari nanti,” kataku cuek sambil meneruskan makan sup buatan adikku itu. Entah lah apakah ada saat di mana aku sanggup menatap dunia luar dengan tenang lagi.

“Kak.. Dika akan ke Australia satu bulan lagi.. Mengambil pendidikan S2 di sana. Alhamdulillah Dika dapat beasiswa. Kalau bisa Dika ingin jalan-jalan sama Kakak..”

Aku menggigit bibirku, menggenggam sendok di tanganku baik-baik agar tidak terpelanting ke nampan. Dengan tangan gemetar aku menyendok supku sebanyak-banyaknya.

“O iya kak, teman kakak yang dulu sering main sama kakak kemarin ketemu sama Dika di jalan..” dia meneruskan cerita. “Yang namanya Dani, dia nanyain kabar kakak.”

“Oh begitu.. Jadi kamu jawab apa?”

Dika tersenyum memandangku. “Aku jawab, ‘datang aja langsung ke rumah, bang Dani.. Kakak udah baikan sekarang!'”

Kali ini sendokku benar-benar terjatuh ke atas mangkuk yang telah licin tandas. Dengan kekesalan yang amat sangat, aku meletak nampan di atas nakas hingga berbunyi dentangan mangkuk kaca. Dika menatapku dengan shock.

“Lain kali, jangan sebut-sebut nama teman satu sekolah kakak lagi! Mereka itu munafik!” bentakku. Ekspresi wajah Dika berubah total karena terkejut dan ketakutan.

Baca Juga :  Dukung Program Riau Hijau, Gubri Tandatangani Komitmen Bersama PLN

“Oke kak,” jawabnya patuh. Tapi dengan sangat kecewa dia pergi ke luar kamar, membuatku sama kecewanya. Ternyata ia ke kamarku hari itu agar aku mau bertemu dengan Dani. Padahal mana mungkin Dani mau ke rumahku?! Dia itu hanya pura-pura peduli.

Lalu sebulan kemudian aku masih tak mau keluar kamar dan Dika pun berangkat ke Australia setelah berpamitan singkat denganku. Dia hanya menitipkan satu pesan, “sesekali main ke luar kak, sudah banyak yang berubah di luar sana..”

Aku hanya mengangguk, rasanya seperti ada pecahan hatiku yang terpisah lalu mencair. Aku tak akan bertemu adikku selama dua tahun ke depan.

Setelah satu tahun berlalu, aku masih menyendiri di kamarku. Setiap pagi dan sore Bi Ati mengantar berbagai menu ke kamar agar aku tidak bosan. Jika bosan, aku tak akan makan lagi hingga dua hari, dan dokter memberiku obat nafsu makan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tubuhku. Terkadang aku sakit hanya karena tidak mau makan. Sesungguhnya hatiku yang sedang sakit, tapi tak mau terobati. Dan waktu empat tahun aku mengurung diri di kamar ternyata tak cukup untuk mengobatinya. Kini dunia luar justru seperti begitu berbahaya. Dengan rumput berduri, awan yang senantiasa berpetir, dan sesak luar biasa.

Aku tak ingin bersentuhan dengan dunia luar lagi. Lalu, seperti jendelaku yang tiba-tiba ditembus oleh angin sedingin es, Dani mengetuk pintu kamarku. “Rin, boleh aku masuk?”

Rasanya sudah lama sekali aku tak mendengar namaku disebut. Keluargaku selalu memanggilku dengan sebutan ‘kakak’.

Aku menunduk menatap kakiku yang pucat, di ujung gaun merah lusuh yang kukenakan. Dengan ragu aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu. Karena kurang berolahraga, kakiku terasa tidak nyaman sewaktu menyentuh karpet. “Aku tak menerima kehadiran tamu,” kataku dingin, berharap dia segera pergi. Aku sungguh tak ingin melihat mukanya.

“Aku Dani, Rin.. Kalau kamu lupa..”

“Aku tidak ingin mengingat tentangmu juga teman-teman kita yang lain.. Kalian itu penghianat,” ucapku kesal. Masa lalu mulai terasa menyakitkan dengan kehadiran Dani saat ini. Atau mungkin perubahan diriku yang membuat semuanya menyakitkan.

“Waktu itu kami memang salah, Rin.. Kami tidak bertindak saat hal itu terjadi..” Dani berkata dengan suara menyesal.

Harusnya dia tidak mengatakan ‘hal itu’. Karena aku jadi semakin ingat wajah seseorang yang sudah membuatku menjauh hingga jadi seperti ini, menjauh dari dunia pendidikan, juga menjauh dari semua orang. Wajah seorang guru perempuan. Bu Susi.

“Dani, kamu pergi aja! Aku nggak mau ketemu sama kamu!” bentakku marah. Aku mulai mengingat percakapan dengan Bu Susi beberapa tahun lalu.

“Jadi Rini, kamu meminta remedial?”

“Betul, pak..”

“Padahal kamu begitu banyak absen tahun ini, apa jadinya kalau teman-temanmu melihat nilaimu tetap tuntas??”

“Tapi bu, saya absen karena sakit..”

“Jadi sama saja antara usaha mereka yang sekolah setiap hari dengan kamu yang kerjanya hanya tidur di rumah dan tak melakukan apa-apa?”

Aku menarik nafas, ingatan itu masuk bagai es yang runcing. Aku menggigit bibirku. “Ya wajar lah, kamu dan yang lain tak begitu mengerti dengan perasaanku. Kalian mendengar sendiri percakapanku dengan guru itu di luar kelas waktu itu tapi tak berbuat apa-apa. Aku yakin kalian semua setuju.”

Baca Juga :  Alhamdulillah, 39 Pasien Positif Covid-19 di Riau Sembuh

“Nggak, kami nggak pernah setuju!” teriak Dani protes. “Kami nggak setuju, apalagi setelah itu kamu berhenti sekolah!”

“Aku nggak berhenti sekolah!” bentakku jengkel. “Aku melanjutkan sekolah informal!”

“Eh iya aku lupa..”

Dasar menjengkelkan. Aku tak punya waktu berdebat dengannya, apalagi aku jadi mulai mengingat kembali seperti apa Dani yang dulu kukenal. Sederhana, sebenarnya cerdas, tapi sifatnya biasa-biasa saja. Dani selalu mengakui setiap kesalahannya hingga dia mudah belajar. Berbeda denganku yang harus selalu menunjukkan kecerdasanku agar orang lain tak menganggapku remeh.

“Aku juga sempat kuliah dan lulus dengan nilai cukup dua tahun lalu,” tambahku pelan. “Aku tidak sebodoh yang kalian pikir. Aku tetap berjuang keras di bilik kecil kamarku ini, meski setiap memandang keluar kamar aku selalu merasa tersakiti.” Tidak sepenuhnya benar. Setelah lulus kuliah aku masih menganggur di kamar ini.

Bum, terdengar bunyi Dani berusaha mendobrak pintu kamar. Aku langsung mundur, agak lega karena pintu sudah kukunci tadi.

“Rina, aku juga nggak sebodoh yang kamu kira!!” teriak Dani di luar, panik karena aku benar-benar mengunci pintu. Dia mendobrak pintuku lagi, lalu meringis karena kayu jati pintu menyakiti lengannya. “Aku.. datang ke sini dengan orangtuaku.”

“Apa hubungannya masalahku dengan orangtua kamu?” tanyaku, kesal tapi tak berdaya.

“Kamu tega mengabaikan kedatangan orangtuaku?” tanya Dani memastikan.

Aku terdiam lama, tak berkutik. Akhirnya aku menunduk pasrah. Dani memang kekanakan. “Iya, iya, aku keluar sebentar lagi. Tunggu ya!” perintahku judes.

Dani mendesah lega. “Baguslah. Kalau begitu pakai baju yang rapi ya, buat orangtuaku terkesan!” tambah Dani tak tahu diri.

“Iya, iya!” aku memutar bola mataku, lalu berjalan ke kamar mandi. Bisa-bisanya Dani menyusahkan orangtuanya begini hanya agar aku mau keluar menemui dirinya.

Setelah aku selesai berpakaian rapi, dengan rok dan kemeja, juga memasang bedak dan lipstik agar tidak terlihat pucat, aku pun keluar kamar. Dani sudah tidak menunggu di depan pintu. Ia duduk di ruang tengah, bersama kedua orangtuanya dan kedua orangtuaku.

“Jadi begini kah wajah calon menantu kami? Sangat cantik sekali..” ucap seorang wanita sebaya ibuku, yang kuduga adalah ibu Dani.

Aku agak terkejut mendengar dia menyebutku calon menantunya, tapi pujiannya tentang wajahku membuat hatiku hangat. “Halo, tante,” aku segera mencium tangannya. Aku baru ingat pernah melihatnya sewaktu beliau menjemput rapor Dani dulu. “Sudah lama tak bertemu..”

Aku juga menyalami ayahnya Dani, beliau sudah jadi pensiunan tentara sekarang, dan aku sudah hafal wajahnya karena paling sering menjemput rapor Dani dulu.

Setelah itu baru lah aku memperhatikan Dani baik-baik. Dia semakin tinggi sekarang, dengan badan yang besar tegap. Mungkin saja dia menuruti ayahnya menjadi Tentara.

“Nak, duduk di sini,” kata ibuku cepat, menarikku duduk di antara beliau dan ayahku yang sudah sangat tua, yang tampak menyembunyikan wajah masamnya di balik cangkir kopi yang sedang diminumnya. “Jadi ceritanya nak Dani datang ke sini dengan niat melamarmu..”

Saking kagetnya aku langsung menelan ludah dengan bunyi keras. Ayahku melotot padaku. Dengan suara berat, beliau bertanya, “jadi maukah kamu, nak?”

Aku menunduk lalu bertanya pelan langsung pada Dani. “Apa pekerjaanmu, Dan?” tanyaku. Terdengar kurang ajar mungkin, tapi Dani segera menjawabnya.

“Seorang guru olahraga. Gajiku mungkin tak akan sama dengan penghasilan kedua orangtua Rina yang seorang pengusaha, tapi aku janji akan berusaha keras menafkahi keluarga!” jawabnya pasti. Lalu, saat melihat wajahku yang tidak terkesan Dani segera menambahkan, “aku juga janji akan jadi pengajar yang lebih baik dan ramah.”

Baca Juga :  Kakorlantas Polri Kunker ke Pekanbaru, Ini yang Dilakukannya

Itu adalah seperti sebuah isyarat di antara kami. Bahwa hidupku mungkin akan lebih baik. Dan lamarannya juga terasa sangat meyakinkan. Aku terdiam lama sekali hingga akhirnya bertanya, “apa yang spesial dariku hingga kamu ingin melamarku? Aku ini anak yang penakut dan bodoh.”

Bahkan orangtuaku terlihat terkejut saat aku mengatakan hal itu, tapi aku tak peduli. Aku ingin memastikan bahwa lamaran kali ini bukan sebuah candaan, atau pun ungkapan kasihan dari Dani. Dia hanya teman sekelasku selama satu tahun dulu, apa yang membuatnya berbuat sejauh ini?

“Bagiku setiap orang sama. Dan kelemahanmu mungkin hanya bagaimana kamu salah dalam menetapkan keputusan hidupmu. Mungkin karena kamu selalu merasa bahwa kamu tidak spesial dan selalu sendirian,” jawab Dani. Kini seolah hanya ada kami berdua di ruang tengah rumahku. Aku menatapnya lurus-lurus. Dani pun melanjutkan, “Bukan.. Aku melamarmu karena kamu membuatku jatuh cinta. Selama satu tahun aku memantapkan hati sampai hari ini tiba. Baik kau maupun aku tidak tahu bagaimana hari ini akan berakhir. Tapi aku tak ingin menyesal saja. Jika menunggumu keluar sendiri, sampai kapan itu terjadi?”

Aku mengangkat sebelah tangan, “Stop! jangan bicara lagi!” lalu kugunakan tangan satu lagi untuk mengusap mataku yang terasa berkaca-kaca. Dengan senyum aku menatap orangtua Dani. “Rina bersedia, Tante, Om..”

Esok harinya hingga esoknya lagi, aku perlahan-lahan mulai sering bertemu lagi dengan Dani. Kami mulai bicara lagi, lebih akrab dari yang dulu. Dani membicarakan banyak hal yang dulu tak ingin kudengar, seperti satu tahun terakhir yang dia dan teman sekelas kami yang lain lakukan. Ada tentang pentas kesenian, guru bahasa Indonesia baru yang lucu, pesta perpisahan, lalu soal si anu yang kuliah di bidang ini dan bekerja di bidang itu, si ana yang ternyata menikah dengan si anu, lalu yang terakhir bagaimana akhirnya Dani bertemu adikku dan mendapat keberanian menanyakan kabarku.

“Jadi bagaimana kabarmu?” tanya Dani sambil tertawa. Dia ikut makan sate ayam yang sedang kumakan.

Aku berpikir sesaat. “Jujur saja, pertanyaan itu terasa menekan. Mencairkan beku hatiku sedikit demi sedikit,” akuku. “Tapi terimakasih karena sudah bertanya.”

“Aku justru menyesal karena tak bertanya dari jauh-jauh hari,” kata Dani lagi. “Tapi takdir selalu bekerja seperti itu. Aku dipertemukan dengan Rina yang sudah dewasa dan cantik sekali, bukan Rina yang dulu yang tak terpikir olehku untuk melamarnya.”

Enam bulan kemudian, pesta pernikahan sederhana diadakan di rumahku. Dihadiri orangtua kami, teman-teman semasa sekolah, sanak saudara, adikku, dan terakhir bu Susi. Untunglah bu Susi memujiku sebagai wanita sudah dewasa dan cantik. Meski tak tampak rasa bersalah di wajahnya, aku mendapati diriku sudah memaafkannya. Juga memaafkan diriku di masa lalu yang begitu kekanakan dan mudah sekali depresi. Hidup selalu berjalan, tapi terkadang kita tak menghargai waktu yang ada.

 

Zulvanny adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unilak, semester 1

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Close