Ini Dia Orasi Budaya Kunni Masrohanti Sempena Anugerah Sagang ke-23

Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh
Bismillahirrohmanirrohim.

Puji paling tinggi bagi Allah SWT yang mejaga dan memberi segala rahmatNya kepada semesta.

Encik/tuan/ puan yang berbahagia

Berbicara tentang berkesenian/kebudayaan di Riau, tidak lepas dari peran banyak pihak. Sungguh kerja seni/budaya bukan hanya kerja pemerintah, tapi juga bukan hanya kerja seniman/budayawan itu sendiri. Secara batin, prilaku seni/budaya sudah melekat pada diri seniman/budayawan. Tapi secara lahir, mereka masih jauh dari kesempurnaan finansial, karena menjadikan seni/budaya menjadi ber ruh, menjadi hidup memang, tidak cukup dengan kata atau prilaku semata.

Di banyak daerah di Indonesia, kondisi kehidupan berkesinan/berkebudayaan tidak jauh berbeda. Ada yang lebih baik, tapi tidak sedikit yang lebih terbiar. Di Riau, gairah berkesenian/berkebudayaan diperkuat oleh lahirnya komunitas-komunitas yang nota bene orang-orang di dalamnya adalah mereka yang berjiwa seni/budaya, senang berkerja seni/budaya, bangga melakukan kerja seni/budaya, rela berhabis waktu dan tenaga bahkan biaya, tapi hatinya bahagia dan ikhlas berkerja untuk seni/budaya.

Banyak yang melihat seniman/budayawan dengan sebelah mata, menganggap pekerjaannya adalah kerja yang sia-sia, tidak penting, tidak berbekas, hanya menghabis-habiskan waktu dan biaya. Tak heran jika kegiatan-kegiatan seni/budaya yang dilaksanakan oleh sekelompok seniman atau komunitas, disambut seribu pertanyaan, sinis, bahkan tidak ditanggapi saat mereka datang membawa bundel proposal. Tapi itulah seniman, tetap tak pernah lelah, tak kenal bosan, malah semakin gila, masuk ke ceruk-ceruk kampung untuk bersastra bersama warga, bertungkus lumus mewujudkan kata dalam rupa film, mewujudkan teks-teks drama dalam panggung-panggung pertunjuukan, menumpahkan banyak warna dalam kanvas yang kian usang untuk entah yang ke berapa, dan kerja-kerja lain yang sungguh gila.

Encik/Tuan/Puan yang budiman

Beberapa hari lalu, dalam sebuah grup Whatshap yang dihuni sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia, ada yang bertanya, apa asyiknya menjadi penyair (seniman/budayawan) Jika merunut kepada apa yang sampaikan di atas, bahwa seniman/budayawan memiliki kebolehan yang tidak dimiliki orang lain, tapi tidak memiliki finansial yang menjanjikan, lantas yang terlihat hanyalah seolah-olah, seolah-olah hebat, seolah-olah cukup, seolah-olah mampu, seolah-olah punya uang banyak untuk berkesenian dan kebudayaan, menggelar itu dan ini, mementaskan itu dan ini, memfilmkan itu dan ini, merupakan itu dan ini, menarikan itu dan ini, seolah-olah berupaya keras untuk memberikan sesuatu yang berarti kepada negeri.

Baca Juga :  Kunker ke Rohul, Gubri Syamsuar Salurkan Bantuan Kepada Panti Asuhan dan Masjid

Tahukah encik tuan/puan sekalian yang budiman. Seolah-olah yang terlihat bukanlah seolah-olah yang sesungguhnya. Menjadi diri yang seniman dan budayawan adalah sebuah anugerah, bakat, talenta dari yang maha kuasa. Maka, tujuan akhir dari berkesenian/budayaan adalah sebuah pergerakan untuk mewariskan sesuatu bagi generasi berikutnya, untuk Melayu, untuk Indonesia tercinta.
Indonesia bernama karena keberagaman seni dan budaya, Indonesia lahir karena banyak suku dan bahasa. Maka, salah satu peran seniman/budayawan juga turut menjaga itu semua melalui karya-karyanya, lalu mewariskan kepada generasi berikutnya sesuai dengan tanah di mana hidupnya bermula.

Siapa yang tidak kenal almarhum Tenas Efendy, sosok yang bisa melahirkan kata-kata indah dan mulia berisi tunjuk ajar Melayu, penuh petuah. Tunjuk ajarnya itu kini menjadi muatan lokal wajib di sekolah-sekolah hingga manca negara. Tidak banyak orang bisa menuliskan apa yang beliau tuliskan. Siapa pula yang tidak kenal dengan Raja Ali Haji, dari tangannya lahir segala cinta pada Melayu yang tak pernah redup, yang dari tangannya seluruh orang di dunia menyesap bingar perjalanan sejarah Melayu yang panjang. Siapa yang tak kenal Chairil Anwar, pujangga yang dari hati dan puisi-puisinya turut memerdekan Bangsa Indonesia.

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Encik/Tuan/Puan yang budiman

Menjadi diri yang seniman/budayawan tidaklah mudah dan sungguh, bukanlah kerja yang seolah-olah. Seperti yang lainnya, seni adalah sebuah jalan untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Hendak sampai kemanakah jalan itu, kitalah yang menentukan. Hendak seperti apakah ujung jalan itu, kita jualah yang menentukan.

Sejak kecil kami sudah mencntai seni, meski hanya lagu dan puisi. Bakat itu seperti hilang, ketika pendidikan agama harus lebih diagungkan, ditambah pula adat sekampung yang menjadikan ruang berkesenian menjadi lebih sempit bagi seorang anak perempuan. Tapi, anugerah itu muncul kembali, bahkan tak bisa dibendung ketika diri beranjak faham, untuk apa diri harus berkesenian.

Baca Juga :  Buka Workshop Instrumen Akreditasi PT, Ini Pesan Rektor Unilak

Sadar akan penting dan besarnya pengaruh perempuan bagi perkembangan Indonesia di berbagai bidang, kami pun ingin berbuat sesuatu yang lebih untuk Melayu ini, untuk bangsa ini, tentu dengan jalan seni, jalan puisi. Aisyah Sulaiman adalah tokoh perempuan Melayu yang dengan karya-karyanya turut mewarnai kesusasteraan Indonesia di masanya. Lantas seperti apakah pengaruh dan peran penyair, seniman, sastrawan, budayawan perempuan Melayu bagi Indonesia saat ini?

Pertanyaan ini kerap muncul dan mengganggu benak kami. Apa yang hendak kami buat, apa yang hendak kami wariskan dengan jalan seni dan puisi bagi Riau dan Melayu ini, sementara kampung tempat bapak kami lahir sudah habis dimakan laut karena abrasi, rimba tempat kami mulai mengenal rupa-rupa semesta hancur ranah punah, sungai tempat kami mandi tak mengalir lagi, redang tempat kami bermain tak berdebu lagi. Sementara, jika kita kembali ke masa lalu, adat dan tradisi nenek moyang lahir dari tempat-tempat ini. Di hutan rimba dan sungai inilah peradaban manusia bermula. Jika rimba dan sungai mulai binasa, sesungguhnya hilanglah peradaban manusia.
Dari pedalaman yang jauh inilah segala simbol dalam dodoi dinyanyikan oleh seorang perempuan, oleh ibu dan segala tradisi dilahirkan menjadi Indonesia yang sempurna. Hanya sedikit Indonesia di Riau yang tersisa. Adat istiadat mulai tergerus seiring berubahnya alam dan rimba raya. Padahal, seperti manusia, rimba juga berbatin setia. Jika rimba binasa, yang bisa ditulis hanyalah sisa-sisa. Daunnya yang rimbun tidak lagi menengadah ke langit, melantunkan doa-doa agar hujan turun segera. Akarnya yang menghunjam ke dasar bumi, tak lagi menyimpan air yang membuat tanah lahir selalu basah. Batangnya yang kokoh, tidak lagi menjadi tempat bersandar bagi tubuh yang lelah.

Encik/Tuan/Puan yang kami hormati

Perempuan memiliki peran sangat penting dalam menjaga warisan adat, tradisi dan budaya, tentu dengan segala keterbatasan dan kelebihannya. Dari rahimnya lahirlah segala cinta. Dari bibirnya pula lahirlah segala aksara. Dondang, dodoi, nandung, batimang, nyanyi panjang, maratik, di dalamnya segala pesan dan harap kepada anak digantungkan saat dalam buaian dan terngingan sebelum diri kembali ke liang. Jika laut berpalung dalam, berbatu karang, maka palung puisi itu bernama perempuan. Sadar dengan segala kelebihan ini, kami ingin memberikan sesuatu yang lebih berarti bagi negeri, meskipun hanya sekecil ibu jari, agar apa yang terlihat seolah-olah tidak menjadi seolah-olah. Kalaupun harus seolah-olah, sesungguhnya bukan untuk seolah-olah karena kerja seni/budaya bukanlah kerja seolah-olah

Baca Juga :  LAMR Panggil PGI Riau Berkaitan Joget Erotis

Encik/Tuan/Tuan

Pada kesempatan yang berbahagia ini, kepada Yayasan Sagang, dengan segala kekuatan dan ketulusannya, kami ucapkan terimakasih atas anugerah yang luar biasa ini.

Kepada guru kami, yang mengajarkan kami tulis baca, yang mengajarkan seni dan puisi, untukmu kulimpahkan segala doa.

Kepada sahabat tercinta, teman sekomunitas, kebersamaan kita menuju tangga tertinggi, mewujudkan mimpi mewariskan kembali adat budaya dan tradisi melalui karya seni, melalui jalan puisi, dalam keadaan susah payah, hujan dan panas, untukmu segala cinta.

Kepada teman sejawat, kepada pemimpin-pemimpin di Riau Pos tempat kami mengabdi dan mengumpulkan pundi-pundi rezeki setiap hari, terimakasih telah memberi waktu dan kesempatan untuk kami terus berjuang dan berkarya seni.

Sepuluh jari kami susun, memohon ampun kepada orangtua, ayah ibu kami atas segala salah, dosa dan abdi diri yang tak sempurna, terimalah anugerah ini setulus hati, berkah jiwa, bagimu segala pahala.

Kepada keluarga kami, kakak adek, suami dan anak-anak kami tercinta, anugerah dan kemuliaan ini tidak akan pernah berupa, tanpa ketulusan, keikhlasan, kesabaran dan cinta kalian yang maha jiwa.

Jika tidak karena sahabat, apa yang ringan terasa berat
Jika tidak karena keikhlasan keluarga, apapun bakti hanya sekedar nama, sia-sia, tiada berpahala Jika tidak karena Allah Taala, segala kemuliaan akan binasa

Wabillahittaufiq walhidayah
Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Pekanbaru, 25 November 2019

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *