Membaca Sajak-sajak; Membaca Proses Kelahiran Seorang Penyair

Ilustrasi net

Istilah pemberian makna pada karya sastra disebut konkretisasi sastra atau lebih dikenal dengan pemaknaan.  Menurut A. Teeuw karya sastra itu adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog. (A.Teeuw via Rachmad Joko Pradobo.106). Pada tulisan ini, saya akan membaca beberapa sajak yang ada di meja kerja saya. Memberi pemaknaan yang saya tangkap sebagai seorang pembaca sajak, menurut persepsi saya.

Saat ini di meja kerja saya, ada tiga puisi emak-emak cakep badai dan satu buku puisi tunggal karya sahabat saya Chie Setiawati. Untuk zaman sekarang, menulis karya sastra terutama puisi merupakan gaya hidup yang banyak dipilih orang. Status facebook atau watsapp, jika mau keren ya harus besastra mungkin bak untaian kata Shakespear atau Rumi dengan ditambah foto selfi diri dengan berbagai gaya keren. Bahkan foto-foto di instagram atau video-videonya pun tak jarang diletakkan bagian-bagian kata-kata bersajak indah. Puisi bukan lagi ruang sakral yang mana jika ingin jadi penyair “sah”  disebut penyair saat karya-karya dimuat di koran dan dapat dipertanggungjawabkan. Banyak juga pembuat puisi di ruang sosial media menulis dengan gaya bahasa puisi-puisi penyair yang ia baca.

Berpuluh-puluh antologi dengan berbagai ragam acara yang diadakan baik dengan sebutan nasional maupun international menjadi trend yang banyak dikejar oleh para penyair. Bagi penyair pemula, merupakan ruang untuk mendekatkan diri dengan penyair-penyair besar (besar di sini dalam artian karya-karya mereka telah dapat dipertanggungjawabkan) dan untung-untung saat menerbitkan buku puisi tunggal, dapat endors dari penyair-penyair besar tersebut. “Kan keren tuh, kak, kalau dalam buku puisi tunggalku, Sutadji sebagai kata pengantar trus endorsnya Bang Isbedy,” (hehehehe….ya gitu deh), dan mereka menjalin link yang kuat untuk diundang ke event berikutnya lagi, penting ada duit tiket; jalan-jalan tanpa mikir ntar tidur dan makannya gimana; aseek!  Bagi penyair yang sudah mapan, bisa jadi tempat bernostalgia “kapan lagi bertatap muka dengan kawan-kawan lama.”

Acara-acara sastra yang diiringi penerbitan antologi melahirkan banyak penyair-penyair “baru”; baru muncul atau baru berkarya dan kemudian tak lama kemudian para penyair-penyair muda (dalam berkarya bukan usia) mulai melahirkan anak pertama mereka tanpa ada lagi penyaringan di media massa lokal maupun nasioanal. “Lah itu nggak musti kaaan. Kemarin gue lolos antologi international, lagian sajak gue tu banyak banget di medsos. Lu nggak follow instagram gue yak, follow donk” (gedubrak!) Bahkan saya sangat takjub dengan produktivitas penyair-penyair muda di sebuah group watsap yang saya ikuti : mampu menulis sajak perhari itu puluhan sajak, perhari! Wak Leman saja sampai ternganga mulutnya. “Aku je satu sajak belum juge siap lagi dalam sepekan,” kata Wak Leman.

Namun bentuk fenomena sosial seperti hal di atas sesuatu yang bagus untuk geliat kesusastraan Indonesia. Karya sastra akan disaring dan bertahan dalam perjalanan waktu. Proses kelahiran seorang penyair bukanlah instan. Bukan hanya cukup dengan satu buku saja. Ada pertanggungjawabannya kepada Tuhan atas karya-karyanya, sebab penyair adalah “kaki tangan” Tuhan. Maka saya pribadi selalu berkata pada anak saya “menulis dengan jujur” jangan terburu-buru dalam berkarya, endapkan dulu, baca berulang kali dan pastikan dirimu meletakkan “stempel” kamu pada karyamu.

Kembali pada tiga karya emak-emak keren badai yang ada di meja kerja saya. Puisi pertama berjudul “Gejolak” karya Ida Muliawan.

Aku pernah muda dengan seribu talenta
Ku singsingkan lengan aku kuat gagah berdiri
Serasa tak ada yang menandingi
Ku selalu tetap pada diri sendiri

Ku teriakkan sesuatu yang membuatku bahagia
Agar dunia melihat aku luas berjalan
Ku bangga dengan diriku sendiri
Rasa ego menghinggapi

Itulah jiwa mudaku
Menerobos dinding kejayaan
Menatap ruang sisi lain yang berbeda

Ida Muliawan melalui puisinya menceritaakan tentang gejolak “Aku” masa muda. Penuh sifat egois, semangat, mempunyai banyak talenta, merasa jagok dan percaya pada diri sendiri. “Aku” di sini bisa jadi dia penyair, atau kita pembaca. Sajak itu karya rekaan, maka ucapan itu bukanlah pencatatan tindak ucapan empiris, maka kata-kata yang bersifat deiktik tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Pada puisinya, terdapat deiktik ke-orang-an. Aku dalam sajak ini bukanlah aku perorangan melainkan “aku” rekaan, siapa saja bisa menjadi “aku”. Puisi ini tidak banyak memakai permainan rima dan penggunaan majas, terlalu terang-terangan, langsung ke inti cerita yang akan dikisahkan.

Baca Juga :  Kwarda Gerakan Pramuka Riau gelar Rapat Kerja Daerah Tahun 2022

Begitu juga dengan puisi berikutnya berjudul “Sunyi” karya Wiwin Herna Ningsih, memakai deiktik ke-orang-an ;

Sendiri…membisu dalam senja
Terpaku menatap langit
Riak ombak menderu perlahan
Langit biru menguning
Menggaris dalam horizon

Kunikmati sunyiku

Titik air mata merinai
Mengambang dalam deburnya ombak

Rasa yang kini ada
Menderai menikam pilu

Ingin ku berlari bersama angin
Mengembara
Mencari titik hidup

Namun…
Ku kan tetap di sini
Dalam ragaku
Yang sesunyi angin laut

Wiwin Herlina sudah mulai berani bermain beberapa bentuk majas ,titik air mata merinai/mengambang dalam debur ombaknya atau rasa yang kini ada/menderai menikam pilu. Dua bentuk majas metafora yang menggambarkan bagaimana kepedihan yang dirasakan “aku” dan pada bait terakhir. Wiwin menempatkan majas simbolik dalam ragaku/yang sesunyi angin laut; Raga dan Angin laut disandingkan dengan kata sifat sunyi. Wiwin menceritakan kehidupan “Aku” yang penuh kelukaan, penuh airmata, bahkan si “aku berupaya lari dari segala masalah, namun ia tetap bertahan dengan kesunyian yang ada.

Lembayung senja pancarkan sinar terang
Merah jingga semburat berpendar
Segenap bayang lintasi di biasnya warna
Latar awan putih jelaskan semuanya

Aku masih mematung berdiri takjub memandang semua
Ingatkan pada kenangan bersamamu
Genggaman tangan erat sepanjang senja
Pelukmu hangatkan suasana

Aroma tubuhmu seharum dedaunan
Sejuk mewangi menabur dalam ingatan
Kasih sayangmu seputih hatimu
Ayah, kan slalu ada untukku selamanya

Rani menceritakan sosok Ayah yang ada dipikirannya. Suasana senja dengan keindahannya adalah saat-saat ia bersama ayah, kenangannya bersama ayah. Rani tidak begitu banyak menggunakan majas pada puisinya, dan permainan rima juga kurang, hanya majas simbolik yang ia gunakan pada bait terakhir baris pertama aroma tubuhmu seharum dedaunan , Rani tidak menjelaskan dedaunan yang bagaimana, hanya dedaunan yang sejuk dan wangi. Pada bait pertama, jika jeli, Rani tidak perlu menyandingkan kata sinar dengan kata terang. Rani cukup  menulis seperti berikut ini:

Lembayung senja pancarkan sinar
Merah jingga semburat berpendar
Segenap bayang lintasi biasnya warna
Latar awan putih jelaskan semuanya

Maka Rani telah memainkan Rima akhir aa-bb. kata terang tak perlu digunakan karena pada baris kedua bentuk sinar  telah dijelaskan. Dalam menulis puisi seideal mungkin kurangi kata penghubung, kata berimbuhan. Puisi adalah pemadatan kata. Satu baris dalam bait puisi mampu diterjemahkan menjadi beberapa paragraf dalam prosa.

Berikutnya, mata saya beralih ke sebuah buku puisi tunggal karya sahabat saya. Chie Setiawati, penyair yang telah melahirkan beberapa kumpulan puisi dan seorang pejuang antologi. Chie adalah pendiri komunitas emak-emak keren badai yang bernama MOM WOW atau MOM Kreatif Menulis, yang mana telah menerbitkan 3 buku keren yang wajib dimiliki yaitu dua antologi cerita anak dan satu antologi cerita thriller romantis (jika berminat bisa hubungi gerai sastra-watsap saya; nge-lapak deh, hehehe). Karya-karya bukan hanya puisi namun juga cerpen dan tak lama lagi akan melahirkan anak pertamanya di dunia prosa yaitu novel, dalam kesibukannya bekerja di Singapura. Chie Setiawati dengan kumpulan puisi tunggalnya berjudul “Sajak Sebatang Pohon”.

Baca Juga :  Kepala BKD Riau Terima Hasil Penilaian Kompetensi JPTP dan Administrator

Saya membaca puisi yang dia jadikan judul kumpulan puisinya ini. yaitu Sebatang Pohon;

/1/

Aku tumbuh membesar dengan cacing-cacing dan tanah yang menyuburkan daun-daun;kilau hijau tertimpa surya, di antara embun yang tergenang di punggung daun; dan angin memintaku tegap berdiri kokoh, menantang surya yang garang membakar, bahkan hujan yang datang membadai.

Chie mengolah dirinya atau kita “AKU”  menjadi sebatang pohon? Memahami kehidupan pohon, bermula dari lahir sebuah pohon. Perjalanan kehidupan pohon dalam tumbuh kembang, bagaimana daun-daun hijau berkilau penuh pesona dan menjadi wadah embun di pagi hari. Pohon membesar dan begitu `gagah` , menantang panasnya sang surya atau badai yang jarang bersahabat.

/2/

Bahkan aku tetap tegar tanpa diminta, meski ranting dan daun-daun kering meninggalkan batang dengan nelangsa;mati terkapar di atas akar-akar, dan ruhnya memeluk kuat membantuku tumbuh kian besar; aku bernyawa panjang; daun dan bunga berlomba memberiku warna.

Namun kehidupan pasti akan bersua kematian. Begitu juga dengan pohon. Perlahan ia kehilangan bunga, daun-daun yang hijau, lalu ranting.  Namun ada satu yang menarik, bunga, dedaunan dan ranting yang telah meninggalkan pohon, namun hanya wujud mereka yang lesap, tetapi roh mereka  memeluk kuat pohon yang sekarat. Seperti sebuah cinta kasih sejati yang terus menompang hati yang mulai patah.

Pada puisi berikutnya “Gamang”, Chie berupaya bermain di rima akhir sajak ini.

Dalam antrean begitu panjang
di depan gerai nasi padang
satu-satu kuamati dengaan gamang
bahkan tak ada yang terlepas pandang
dari sayur singkong sampai rendang
perut mulai meradang
azan pun sayup berkumandang
dan aku masih mengantre sambil berdendang
kapan giliranku datang?
ah!siang ini terasa begitu sumbang
mengapa hanya bisa memandang

Chie bermain dengan rima akhir-ang. Bercerita tentang suasana di sebuah rumah makan padang. Seseorang yang mengantri, rasa lapar namun pandangannya tetap liar melihat menu makanan yang terpajang. Namun gilirannnya tak juga kunjung datang, bahkan saat azan berkumandang, ia tetap mengantre dengan sabar, walau dirinya sudah mulai gamang, siang ia rasakan begitu sumbang; tidak lagi ramah bagi seseorang yang sudah kelaparan.

Pada sajak “Untukmu De”, Chie menemukan puisi mengecambah di lahan tandus, di genangan derita, di tubuh molek pertiwi. Berdialog dengan seorang bernama De, Chie mengajak kita menikmati puisi, merawat puisi. Puisi adalah bahasa kejujuran dari seorang anak manusia.

Beberapa puisi menggambarkan kelukaanpun menghiasi buku puisi tunggalnya ini. Luka diakibatkan bencana, luka akibat perang bahkan luka saat hatinya patah. Chie juga memaparkan perjalanannya memahami keberadaan Tuhan. itu terlihat pada sajak “Dalam Perjalananku”;

…………
Di saat malam mendekapku dengan sunyinya, hanya satu yang ingin kulakukan, menghadap kepadaNya
dalam ruang terteduh, aku mengaduh, mengadukan segala keluh
Munajatkan keinginan yang ribuan purnama terlupakan
Kepada-Mu, kerikatan begitu dekat
keterkaitan begitu kuat
hanya kepada-Mu aku meluahkan rasa
———-

Dengan tetap memperhatikan kaidah puisi yang idealnya. Puisi-puisi Chie sudah  berbentuk puisi yang memperhatikan rima, penggunaan majas, pemilihan diksi, memaknai kata dan menjalin kata tersebut dan mewujud makna yang tepat, Chie tidak liar dalam menempatkan bentuk metafora ke dalam sajak-sajaknya, terasa wajar, terkadang lembut, terkadang “ganas” namun terasa” renyah”. Pada puisi di atas bila dianalisis lebih lanjut, antara pemilihan kata (beserta artinya) dan bunyi katanya saling memperkuat makna. Aliterasi yang berturut-turut :terteduh, Mengaduh, keluh  memberi intesitas makna kepasrahan kepada Tuhan dan berjalan tanpa halangan pada baris ke dua. Tetapi ada kalanya Chie terlalu asyik masyuk membuat rima yang sama namun silap dalam menyanding beberapa kata. Saya melihat pada satu puisi Chie yang berjudul “Hujan dan Bocor”

Baca Juga :  SKB Netralitas ASN Pada Pilkada 2020, Ini Harapan Sekda Arfan

Hujan kali ini bunyinya cempreng
dia jatuh menimpa seng
angin rebut ikut tempeleng
Guntur petir gombrang gambreng
emak lari mencari kaleng
bapak sibuk mengintai bocor sampai teklek
aku terbangun dari mimpi tinggal di rumah mentereng
yang ada tempat main di loteng
duduk manis sambil ngeceng
………

Chie berupaya bermain dengan rima akhiran-eng, namun pada baris ke enam, Chie kecolongan. bapak sibuk mengintai bocor sampai teklek bukan akhiran eng yang ia tulis melainkan kata teklek yang bukan berakhiran –eng. Lalu pada baris ke 3 Chie meletakkan kata tempeleng menjadi sifat dari angin. Berupaya membuat perumpamaan, namun saya kira kurang asik untuk dibaca saat angin disandingkan dengan kata tempeleng. Namun sajak “Hujan dan Bocor” cukup renyah dan mengundang geli hati saat kita membayangkan apa yang terjadi saat hujan dan rumah bocor, semua kalang kabut, namun si “aku” malah sibuk bermimpi tentang kenyamanan, (Ih! Chie, aku juga pernah seperti si “aku”; ups curhat deh!)

Kumpulan sajak Sebatang Pohon karya Chie Setiawati adalah rangkaian pengembaraan rasa  melintasi ruang waktu, bercerita berbagai kisah bahkan kisa-kisah yang tersimpan di relung jiwanya. Chie sebagai pengembara, menjelajah berbagai negara berpisah dengan orang-orang tercinta, semua rasa tergambar jelas dalam puisi-puisi Chie pada buku tunggalnya “Sajak Sebatang Pohon”

Chie Setiawati yang kukenal adalah seorang penulis haiku yang handal, bahkan karya-karya haiku-nya dimuat di sebuah majalah di Jepang. Awalnya aku menyangka puisi-puisi Chie adalah kumpulan sajak-sajak pendek. Namun diluar dugaan, banyak sajak berbentuk narasi yang ia kemas dengan apik.

Seperti kata Chie, Hidup ini seperti sebatang pohon, bahkan jangan berpikir untuk yang enak-enak saja, kita akan bertemu kelahiran, kematian, kebahagiaan bahkan pengkhianatan. Ada pengorbanan di sana seperti pohon kadang ditelantarkan musim dan berkorban demi sebuah dahan yang tak tahu betapa perihnya kehilangan. Proses sebuah pohon yang lengkap dengan berbagai jalinan cerita.

/3/

sesekali musim menelantarkan keberadaanku, membuatku
sekarat di saat harapan begitu besar tertoreh di nadi waktu; tak 
jarang aku harus mempertaruhkan ribuan daun muda dan ranting-ranting tak berdosa; hanya demi dahan yang kerap tak ingin tahu perihnya kehilangan.

Begitu juga dalam hidup, begitu juga dalam karya begitu juga dalam kepenyairan, ada proses yang harus dilalui untuk menjadi apa karya kita nantinya. Seperti Ida, Wiwin dan Rani yang sangat menyukai puisi dan mulai bermain di jalan puisi atau seperti Chie yang mengembara dari antologi haiku dan beberapa antologi sajak berevent yang diselenggarakan dari berbagai daerah dan negara, seperti penyair-penyair medsos dengan sajak dan foto selfinya. Itu semua adalah proses kelahiran seorang penyair untuk menemukan dirinya, untuk menemukan bentuk karyanya. Sampai kapankah mereka bertahan di jalan puisi yang katanya sunyi? Apakah mereka sudah menyiapkan laporan pertanggungjawaban karya-karya mereka kepada Tuhan? Bukankah suara penyair suara Tuhan yang menyampaikan kebenaran.

DM Ningsih, 2020; alumni Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning.

Related Articles

1 thought on “Membaca Sajak-sajak; Membaca Proses Kelahiran Seorang Penyair”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *