Kampung yang Dimakan Api

oleh Rian Harahap

Rian Harahap

Nenek masih duduk mengayun-ngayun kakinya di beranda rumah. Ia melongok ke arah jauh, dalam pandangan matanya ada butiran-butiran memori masa lalu. Mungkin sebuah rubrik bacaan yang sudah diukir dalam hatinya. Tentang pria paruh baya yang dahulu menenggelamkan ia dalam mimpi untuk berangkat jauh dari kampung. Logat kampung yang beririsan dengan kota. Namun asa tinggal di kampung, selesai dengan cepat. Ia merangkumkan angan, dikatupnya kaki lalu mencoba menyapu basahan pipinya. Sembari itu pula ia melakukannya setelah teriak kecil Udin-bocah kecil yang bergelantungan di jemuran kawat mereka.

“Nek…”

***

Pekat, rasanya ada yang menusuk-nusuk di hidungku. Malam itu dengan sedikit air yang kumasukkan ke dalam hidungku, mungkin bisa sedikit mengurangi kesakitan yang kurasa. Rajaman kabut yang menohok paru-paru ini persis mengoyak serat-serat, lalu memuntahkan darah yang meluber ke jantung, hati dan serambi pernafasanku. Entahlah, detik demi detik berlalu dengan helaan nafas panjang yang tak ada habisnya. Orang-orang di sekelilingku berlarian, dengan wajah persis seperti ninja di film Jepang.

Perihal menutup, memang sudah kami lakukan semenjak dulu. Hampir dua puluh tahun lalu. Ketika itu nenek masih cantik dan belia. Ia seperti gadis yang turun dari surga. Dengan mata seperti butiran berlian, rambut yang menggenangi wajah setiap pria yang terkagum-kagum dibuatnya. Gadis muda ini memang nenekku. Ia anak kesembilan dari keturunan kepala adat di dusun kami. Dusun yang jauh dari hiruk pikuk kota. Dalam pemetaan kota dan kabupaten, dusun ini pun tak tampak.

Nenek yang kala itu setiap siang datang bersama Ayahnya, menunggu orang-orang dari kota untuk membeli hasil panen mereka. Bukan main kepalang, bisa dilihat begitu banyak pedati, delman atau pun kereta kuda yang dibelakangnya kosong, pasti akan penuh jika sudah kembali ke kota. Dusun ini bukan main terkenal seantero kota. Andai saja berjalan di lorong-lorong kota, bertanyalah pada mereka pada supir, pedagang, pekerja, atau orang-orang yang hidup lama di kota. Tak ada mulut yang bisa berkelit menyebut darimana asal apa yang mereka makan, darimana baju yang mereka pakai, serta siapa orang yang paling berjasa dalam kehidupan mereka. Mulut mereka serempak menjawab, dusun kami. Sementara itu, orang dusun kami tak pula pernah berjanji tentang jawaban dari pertanyaan itu.

Gadis belia itu tahu benar cerita kenapa kini kampung ini menjadi hunian bagi orang-orang yang menutup wajahnya dengan masker. Konon jika ada saja orang kampung ini menunjukkan wajahnya yang selama ini sudah tertutup, itu berarti melawan adat, bentuk ketidaksopanan, atau barangkali menjadi hal untuk mengikrarkan diri untuk keluar secara sadar dari keanggotaan kampung. Inilah adat yang sudah dijunjung di kampung kami, aku pun harus mengikut turut, biar tak jatuh dalam kesalahan adat.

Baca Juga :  Wan Abu Bakar: Ketua PT. PSPS Harus Dimintai Tanggung Jawabnya

Gadis belia yang kini kantung matanya sudah mengendur jauh itu, mulai menceritakan darimana asal muasal kampung ini. Dengan sedikit gemetar, ia raih dengan tangan kirinya tongkat, lantas ia balik gagangnya. Disana ia menggosok-gosok sebuah tulisan, dengan bahasa arab melayu. Aku sulit untuk membacanya, namun gadis belia itu langsung meneteskan air matanya. Pelan merembes dengan aliran syahdu, menyisip di balik kantung matanya, pelan lalu jatuh ke bumi. Ia terus menatap tulisan tersebut dan membuang pandangan ke arahku.

“Kau yakin ingin mendengarnya?”

Anggukan pasti kukirimkan padanya. Lalu mengalirlah cerita itu sederas-derasnya. Tak perduli ada batu karang yang menghadang, sebab cerita itu tak lagi bisa ia bendung, meski disimpan dalam lemari kaki langit sekali pun, ia pasti terkuak ketika ada yang ingin benar-benar mengetahuinya. Mengalirlah laksana perahu yang berada di lautan lepas.

“Kampung ini, ya semua di kampung ini adalah orang-orang baik. Tak adalah yang tidak paham agama. Semenjak tahun-tahun yang tak lagi bisa disebutkan asal muasalnya. Begitulah adanya, kami hidup dengan segala aturan adat kampung. Aku masih ingat waktu itu setiap hari kami bermain dan bercanda dengan tawa lebar yang mengisi ruang tebing-tebing. Ya dulu, disini ada tebing, kami suka berteriak di dalamnya, mencoba berteriak sepuasnya. Bila senja kami sudah harus duduk di langgar, mengulang kaji dengan tunjuk ajar.”

“Semua begitu sempurna, masa kecil di kampung. Orang-orang kota, ya kota dulu berada di balik tebing ini. Kami tak bakal bisa melihatnya, disana berdiri kota yang megah. Dengan orang-orang yang bajunya tak sedikit pun ada lipatan, licin dan bersih. Sampai akhirnya ada seorang pemuda datang ke kampung ini”

“Iya memang dari kota, tampak dari gaya bicaranya yang tertata rapi. Kuda yang bersih dan wewangian yang mencolok dari balik tubuhnya. Waktu itu semua terpana, tak terkecuali gadis belia ini. Jelas saja, dengan wajah yang tak biasa seperti orang-orang kampung kami. Rasanya rembulan jatuh di pelupuk mata ini. Tak lekas berkesudahan memandangi wajahnya. Bukan kepalang bintang berputar dengan riang, senang. Tak bisa kulupakan semua itu dengan cepat.”

“Dia siapa, Nek?”

Goresan wajahnya bergerak, mengernyit lalu kembali memandang jauh tentang memori di balik tebing.

“Pemuda itulah yang punya uang. Ia datang dari kota. Ia membeli semua hasil produksi kami. Baginya datang ke kampung kami untuk membantu. Orang-orang senang dengannya, bahkan seorang pemuka adat dengan sengaja berandai-andai. Ya, andai saja gadis belia itu dinikahkan dengan pemuda tampan dari kota tersebut. Lalu orang-orang pun tertawa. Ruangan yang penuh sesak dengan tawar menawar harga pisang, karet dan beras. Kontan saja tertawa, mereka melepaskan sedikit bahagia dari pengandaian tadi. Sementara, gadis belia itu tersenyum mengintip di balik dinding tepas. Mendengar dan menatap dalam ke arah pemuda itu”

Baca Juga :  191 Mahaiswa FIB Unilak, Selesai Laksanakan KKN di Kecamatan Tambang Kampar

“Semuanya berjalan cepat, tak ada yang bisa menduga jika gadis belia itu akhirnya dipinang oleh pemuda kota. Namun tidak serta merta, wajah guratan ketua adat kampung gembira, ia punya syarat jika anaknya dipinang. Syaratnya hanya satu, ubahlah kampung ini menjadi kota yang maju”

“Pemuda menyanggupi dan menangkap janji.”

“Mereka tinggal di kampung itu. Pemuda kota yang memindahkan orang kota untuk semakin sering berniaga ke kampung itu. Sawah-sawah panen besar, ladang-ladang semakin membuat orang kampung hidup berkecukupan. Pemuda itu memang membantu, ia bawakan uang dari kota, dipinjamkan lantas itulah yang menjadi modal orang kampung. Orang kampung itu pun menjadi senang bukan kepayang. Mereka berpesta tak hanya malam bahkan sampai siang. Pemuda itu, Ya suamiku itu memang menjadi orang hebat. Pelan-pelan ia mengubah kampungku menjadi kota. Lalu ia menjerat semuanya. Sawah-sawah, ladang dan kebun yang senantiasa kami jaga sepanjang adat, dipaksa hilang. Pemuda itu menodongkan wajah kotanya. Dengan bengis, ia membeberkan kegilaan tentang dunia hilang. Menghilangkan sawah, ladang. Gadis belia itu? Ia hanya bisa duduk dengan tenang, seraya seperti janjinya sehidup semati. Orang kampung dijerat dengan kolom-kolom kebahagiaan. Semu tapi palsu, menambah gundah hati yang dikebiri. Orang-orang kampung saat itu ditodong senjata, menyerahkan ladangnya. Tak sanggup membayar hutang, dipaksa berpindah ladang, hingga tak lagi menemu tanah untuk dipancang. Orang kampung berangkat mencari kampung baru. Mereka tak sanggup berdampingan dengan pemaksaan di kampung ini.”

“Dahulu ladang ini besarnya bukan kepalang, tapi pagi buta itu orang-orang suruhan pemuda kota mereka membawa minyak-minyak. Menumpahkan dirigen besar ke ladang, membakar pelan-pelan. Nyala api itulah api kehidupan di kampung kami pada hari-hari berikutnya. Tak ada yang lain, setiap hari satu ladang sudah rata dengan tanah. Mereka duduk, menghisap rokoknya, setelah habis mereka berpindah ke ladang lain. Tampak dari matanya ada kegembiraan telah meluluhlantakkan jiwa-jiwa. Kampung dipaksa menjadi mimpi kota.”

“Kampung dengan cepat dilalap api. Tak ada lagi ladang, petak sawah atau karet-karet yang ditunggu panen. Semua digarap dengan keserakahan. Pemuda itu datang dengan membawa logika kota. Ia mendepak adat kampung kami. Tebing yang menghadang dipecah, ditukar menjadi lautan perniagaan orang-orang seberang. Orang yang wajahnya tak serupa dengan kami. Saat itu aku merasakan gadis itu adalah tulang rusuk yang setengah hidup. Menunggu dikubur bersama orang-orang kampungnya. Lalu, generasi selanjutnya akan menangis di pusara pemakaman dan memperingati setiap tahun apa yang dirasakan.”

“Inilah kampung itu, selama puluhan tahun mereka selalu membakar kampung ini. Mereka mengajari kegelisahan untuk membakar apa yang belum terbakar. Wajah-wajah kampung dibakar, bara api dimana-mana. Selama puluhan tahun kampung ini dibakar pelan-pelan. Orang-orang kampung diusir dengan perlahan. Kampung ini gelap, tak ada lagi matahari. Kau tak akan menemukan pagi, siang atau malam. Kau harus berlayar ke seberang untuk menikmati mentari pagi. Di sini, membakar adalah sebuah kewajiban tradisi yang harus dijaga. Kampung ini sudah berubah arah. Mereka percaya bahwa asap dari lahan terbakar itu adalah keberuntungan. Semakin banyak kabut asap, maka semakin banyak keberuntungan. Burung-burung mencari rumah baru. Orang adat sudah tua, menunggu mati berganti dengan generasi yang hilang arah. Diajarkan menghirup kabut asap agar mereka sadar bahwa asap adalah  belahan jiwanya.”

Baca Juga :  "Pak Polisi, Saya Ini Perempuan, Bapakkan Lahir dari Rahim Perempuan"

“Kini kampung itu berubah menjadi kota. Persis seperti mimpi yang diimpikan oleh ketua adat kampung kala itu. Gadis itu berhasil ia nikahi, kampung itu ia ubah wajahnya jadi kota. Matahari segera diganti dengan nyala api. Dimana-mana api bertebaran, orang-orang gembira, bersenang-senang. Anak-anak di kota ini pun diberi nama dengan kabut atau asap. Itu adalah nama keberuntungan, sebab jika ia mati kelak pasti ia masih dalam keberuntungan. Kota dipenuhi ruko-ruko, di balik ruko masih ada api yang membara. Orang-orang dengan tangan berminyak, bersiap memantikkan api. Pelan-pelan dan menjaga agar tidak ada yang memadamkan. Saat asap itu datanglah kami mulai terbiasa menggunakan penutup wajah ini. Menyaring asap keberuntungan. Setiap hari, waktu dan tak akan berhenti. Kami senang dan riang. Orang-orang datang, ikut membakar dan membawa saudaranya untuk membakar.”

“Jadi itu yang menyebabkan …?”

“Pasang lagi maskermu! Setelah ini baru kita ke pusara kakekmu.”, ucap nenek sambil menggerus derasnya rintih air mata di pipinya.

Rian Kurniawan Harahap, M.Pd, lahir di Pekanbaru, 5 Juli 1989, adalah sastrawan muda asal Riau. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi cerpen, dan esai yang dipublikasikan di sejumlah surat kabar, dan terangkum dalam berbagai antologi. Berbagai penghargaan dan prestasi telah diraihnya di antaranya anugerah terbaik 3 penulis naskah drama dalam Festival Sastra Sungai Jantan Kabupaten Siak pada tahun 2019, peraih terbaik 1 naskah puisi Festival Bulan Bahasa kategori guru nasional yang ditaja Universitas Islam Riau pada tahun 2019, peraih terbaik 2 lomba naskah drama dalam Festival Sastra Indonesia yang ditaja Fakultas Ilmu Budaya UGM. Naskahnya yang populer dan kerap dipentaskan oleh berbagai kelompok teater di Indonesia adalah monolog perempuan obrak-abrik. Dia juga pernah terlibat aktif pentas  di Anjungan Seni Idrus Tintin bersama Teater Selembayung, Rumah Sunting, Latah Tuah dan Suku Seni.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Close