Menakar Keadilan
Oleh Megat Kalti Takwa

Ilustrasi
Keadilan merupakan paras lain dari ketidakadilan. Seperti sebuah koin logam yang sama tapi terletak pada sisi yang berbeda. Begitu juga pada tiap-tiap individu merasa adil dalam dirinya, tergantung dari sudut pandang yang mana mereka menilai. Tentu saja di sini saya tidak akan membicarakan keadilan dari segi penilaian karena pada ahkirnya kita akan meyakini keadilan bagi diri kita sendiri dan jatuh dalam keadilan menurut personal moral kemudian konsep keadilan sendiri menjadi bias.
Di sini saya akan mebicarakan mampu atau tidaknya sebuah negara mendistribusikan keadilan bagi rakyatnya sehingga terciptalah kesejahteraan sosial dan keadilan social. Menurut Cicero, sejatinya terbentuknya sebuah negara hadir di atas sebuah ide, yaitu ide tentang keadilan.
Tentu saja untuk mendistribusikan keadilan sebuah negara tidak bisa bertumpu pada keadilan menurut personal moral. Negara harus memiliki koridor-koridor dan melintasi rel yang tepat untuk dapat mencapainya. Melalui teori kontrak konsep keadilan sebagai fairness John Rawls, saya merancang konsepsi publik tentang keadilan di Indonesia. Dari teorinya, John Rawls berpendapat agar masyarakat tertata dengan baik dan mampu membentuk kesejahteraan sosial dan keadilan sosial terdapat 2 syarat mutlak, yaitu: (1) setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama. (2) institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Dari hipotesis di atas, John Rawls menekankan dibutuhkannya prinsip keadilan, yaitu seperangkat prinsip yang mampu memberikan hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban dasar. Dalam menyusun konsep keadilan sebagai fairness, salah satu tugas utamanya adalah menentukan prinsip keadilan mana yang akan dipilih dalam posisi asali. Posisi asali dimaksudkan John Rawls adalah status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai adalah fair. Posisi asali ini memiliki jawaban atas berbagai kepercayaan dan kepentingan dari berbagai pihak, hubungan mereka satu sama lain, atlernatif-alternatif yang akan mereka pilih, prosedur yang menyusun pikiran mereka, dan sejatinya posisi asali adalah mengenai interprestasi yang paling filosofis dari situasi pilihan demi tujuan teori keadilan.
Dalam kesadarannya John Rawls mengungkapkan bahwa teori kontrak konsep keadilan sebagai fairness belum lengkap tanpa ditentukannya prinsip keadilan melalui posisi asali, dan memilih utitaliarisme klasik sebagai jawabnnya. Tapi sebagai sebuah negara, Indonesia sepertinya sudah diwarisi oleh defounding father posisi asali yang dapat menentukan prinsip keadilannya, jawaban saya adalah Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara yang termaktub dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republil Indonesia 1945. Pancasila tentu saja sebagai kesatuan yang utuh dapat memenuhi hipotesis posisi asali John Rawls yaitu jawaban atas berbagai kepercayaan dan kepentingan dari berbagai pihak. Hubungan mereka satu sama lain, atlernatif-alternatif yang akan mereka pilih, prosedur yang menyusun pikiran mereka.
Jika kita telah menentukan konsepsi publik tentang keadilan, mungkinkah negara mampu mendistribusikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial juga keadilan sosial? Jawabannya mungkin saja, ya, karena kesepakatan dalam konsepsi keadilan bukan satu-satunya prasyarat bagi komunitas umat manusia, terdapat pula problem-problem sosial mendasar khususnya koordinasi, efisiensi, dan stabilitas. Negara yang baik karena rakyat yang baik begitu pula sebaliknya negara yang buruk karena rakyat yang buruk, ucap Plato.
Kembali kita pada narasi Cicero tentang terbentunya negara hadir di atas ide tentang keadilan. Dari narasi itu, pertanyaan saya yang dapat dijawab pribadi pembaca masing-masing. Masihkah kita sebut negara jika tak merasakan juga tak mengalami keadilan?
Sumber Rujukan :
- Teori Keadilan dasar-dasar filsafat politik untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam Negara, John Rawls.
- Pendidikan Pancasila, Mukhlis R., SH., MH.
- Demokrasi dan Sentimentalitas, F. Budi Hardiman.