TANTANGAN POLRI DI ERA SOCIETY 5.0, Oleh: Muhd.Zulkifly Ramadhan

Muhd. Zulkifly Ramadhan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus melaju tiada henti.Tidak mengenal kompromi untuk berhenti, memberi ruang inovasi yang luas bagi mereka yang tidak mampu beradaptasi.Di satu sisi banyak memberi kemudahan pada sebagaian umat manusia, tapi di sisi lain menjadi tantangan dan sekaligus permasalahan baru bagi sebagian orang. Permasalahan kemudian menjadi ruang inovasi yang terbuka dan luas, dan menjadi tantangan baru khususnya untuk dunia hukum untuk memayungi aturan mana yang boleh dan mana yang tidak.Jika lembaran kertas hokum terebut belum tersedia, berdampak pada luasnya ruang abu-abu atas setiap tindakan manusia.Di sinilah kualitas kecermatan dan ketajaman dalam kualitas keadilan itu sendiri. Dengan demikian, maka kualitas dalam pemenuhan kempetensi setiap aparat penegak hokum menjadi penting sekali.Termasuk petugas kepolisian sebagai garda dalam penegakan hukum.

Tantangan polri ke depan tidaklah semakin ringan walaupun teknologi sudah berkembang,namun sebaliknya semakin berat karena ruang dan dimensi permasalahan akan semakin komplek, dinamik dan bervariasi. Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan akselesasi teknologi yang cepat, berdampak pada perubahan strategis maupun perubahan teknis. Kemampuan lemdik polri untuk melakukan penyesuaisan kurikulum menjadi sangat penting dalam rangka mengimbangi dinamika tantangan itu sendiri. Baik itu kamtibmas,lantas,dan tantangan penegakan hukum membutuhkan penanganan yang sesuai dengan aturan dan sesuai dengan kompetensi dan integritas dalam paket keteladanan. Untuk itulah polri perlu membutuhkan saran dan masukan yang luas dari berbagai sumber-sumber seperti masyarakat, tokoh masyarakat, ataupun suatu instansi yang memiliki kerjasama dengan polri dan diiringi dengan semangat atau jiwa patriotisme untuk melakukan suatu perubahan berkelanjutan. Untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan suatu ihtiar yang terencana,berkelanjutan dalam melakukan suatu perbaikan dalam mengimbangi berbagai dinamika persoalan.

Sekarang ini manusia sekarang hidup di era Revolusi industry 4.0.Hal ini berlaku diIndonesia,berbagai elemen individu dan institusional terus beradaptasi dengan digitalisasi yang sudah merevolusi seluruh aspek kehidupan.Oleh sebab itu, Para masyarakat yang bekerja di dipemerintahan atau perusahan perlu menerapkan atau memanfaatkan teknologi tersebut sesuai dengan tugas pokoknya guna mencapai tujuan .Begitu pula dengan polri,mereka harus memanfaatkan teknologi yang telah berkembang ini.Selain itu pada era revolusi 4.0 ini dimana kecerdasan buatan sudah ada melahirkan suatu era society 5.0.

Diperoleh dari ditpsd.kemendikbud.go.id, era society 5.0 ini pertama kali diperkenalkan di pemerintah Jepang pada tahun 2019,di buat sebagai solusi pencegahan dari peningkatan distrupsi dari revolusi industry 4.0. Menurut perdana menteri Jepang, Shinzo Abe mengatakan bahwa konsep revolusi industry 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh.dimana revolusi industry 4.0 menggunakan kecerdasan buatan dan society 5.0 menfokuskan kepada komponen manusianya sendiri. Maksudnya adalah dimana revolusi industry 4.0 ini menggunakan suatu teknologi dengan kecerdasan bautan dan society 5.0 ini ialah dimana manusia berperan mengawasi kinerja robot tersebut.Sebagai kita contoh dalam polri ini adalah ETLE yang digunakan oleh lantas polri.Kita bisa lihatapabila adannya warga yang saat mengendarai mobil tidak menggunakan sabuk pengaman di sautu jalan,maka hal itu akan ditertangkap oleh kamera yang dimana kamera tersebut akan mengambil gambar pada kendaraan tersebut untuk dijadikan bukti dan secara otomatis memasukkan ke database terhadap pelanggaran yang dilakukan pengemudi tersebut.Dan peran polri disana ialah dengan data yang diperoleh segera mengirimkan surat tilang kepada warga tersebut sehingga pelanggar wajib membayar denda sesuai pasal yang berlaku.

Pada zaman sekarang ini dimana teknologi sudah berkembang dengan pesat, sehingga polri perlu menerapkan penggunaan IT secara efektif di tiap polda atau daerah karena dibalik berkembangnya teknologi,pasti varian-varian kejahatan pasti akan bertambah,contohnya cyber crimepencucian uang,dan lain-lain.Selain itu polri dituntut harus lebih inovatif,professional,dan aktif dalam menanggapi society 5.0 ini.Hal ini dikarenakan polri diwajibkan untuk berpikir secara kritis atau lebih luas untuk menemukan solusi atau membuat suatu penemuan baru untuk menghadapi berbagai kejahatan-kejahatan yang akan polri hadapi pada era society 5.0 ini. Peran IT sangat berpengaruh dalam perkembangan era society 5.0. Tidak hanya itu saja, hal yang paling penting adalah system artificial intelligence dan Big data, yaitu pada system computer semua itu kita program dan terus memasukkan data yang selanjutnta dianalisis sehingga mampu memberikan informasi yang akurat.

Terkait salah satu tugas polri dalam hal mengungkap permasalahan aspek penegakan hukum lingkungan khususnya terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sudah barang tentu diperlukan konsep dan pemikiran yang intelegency dalam mengungkap beberapa kejahatan dalam konteks lingkungan hidup. Sehingga tugas dan tantangan ini menjadikan personil polri lebih tanggap dan sigab dalam mengungkapkan kasus- kasus lingkungan yang terjadi, khususnya dalam hal kebakaran hutan dan lahan.Permasalahan lingkungan hidup dalam kasus kebakaran hutan dapat menjadi salah satu pondasi yang diperkuat untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Penegakan hukum yang kuat akan sangat penting untuk dapat diterapkan, dilaksanakan, dan diperkuat. Untuk itulah berdasarkan hal tersebut maka dari itu perlu dikaji dan dianalisis rumusan masalah yang terdiri dari pertama, bagaimana bentuk penegakan hukum terhadap permasalahan lingkungan hidup kasus kebakaran hutan?, dan kedua seberapa pentingnya penegakan hukum untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan?.

Baca Juga :  Menyiapkan Generasi yang Kompetitif di Era Global

Penegakan hukum lingkungan harus ada beberapa instrumen yang terdiri dari kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.Upaya penegakan hukum lingkungan dalam kasus kebakaran hutan harus dapat dilakukan secara optimal guna terciptanya lingkungan yang baik.Aspek pada penegakan hukum lingkungan harus mendapat perhatian yang khusus dan maksimal terutama pada kerusakan hutan.Adanya penegakan hukum lingkungan dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat untuk dapat lebih mematuhi peraturanyang ada. Hal ini akan sangat berpengaruh, karena adanya unsur yang saling berkaitan, dan melibatkan semua yang ada dalam subyek hukum. Dapat dikatakan bahwa penegakan hukum lingkungan harus dapat memberikan efek jera terhadap pelaku kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, agar tujuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Proses penegakan hukum terhadap permasalahan lingkungan hidup dapat dilakukan melalui penataan, penindakan, dan penyelesaian sengketa. Pertama, penataan merupakan suatu proses yang dilakukan kepada masyarakat untuk dapat memotivasi agar masyarakat mau berpartisipasi dalam melaksanakan hukum. Penegakan hukum dalam penataan yang termuat di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 itu termasuk preventif. Upaya ini dilakukan dengan cara pemantauan dan pengawasan. Hal ini termasuk dalam Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, ayat (2), serta bagian terakhir Pasal 75. Kedua, penindakan merupakan perbuatan yang melanggar peraturan dengan tujuan untuk dapat mengakhiri sebuah perbuatan terlarang. Penegakan hukum dalam penindakan ini berupa penegakan hukum represif, yaitu jika masyarakat merasa terganggu dengan adanya kerusakan lingkungan hidup pada masalah kebakaran hutan atau lahan yang merugikan masyarakat lain, hal ini masuk dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dalam pasal 76 ayat (1) dan ayat (2). Ketiga, penyelesaian sengketa merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang sangat penting untuk dilakukan, karena ini menyangkut tentang penyelesaian sengketa yang harus ditempuh melalui hukum dan konsekuensi yang didapat dari individu atau kelompok yang telah melakukan pelanggaran hukum dalam kasus kebakaran hutan atau lahan sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dimana hal ini akan dilakukan oleh kekuasaan kehakiman.Dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua alternatif, yaitu dapat ditempuh melalui pengadilan atau ditempuhdi luar pengadilan.Penegakan hukum dalam penyelesaian sengketa ini masuk dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang terdapat dalam Pasal 84. Selain adanya penegakan hukum terhadap penataan, penindakan, dan penyelesaian sengketa,peran masyarakat juga akan sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum berkaitan dengan lingkungan hidup. Adanya peran masyarakat sebagai empoweringdalam mengawasi danmelakukan sebuah penegakan hukum dapat memberikan berbagai dukungan yang positif untuk memberikan dorongan dalam membangun dan memberikan keselarasan dimana masyarakat akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam proses pembangunan dan kesejahteraan.

Dari berbagai pernyataan yang diberikan, semua itu merujuk kepada masyarakat sebagai kelompok yang dapat membawa harapan menjadi lebih baik.Adanya peran masyarakat itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pada Bab XI Tentang Peran Masyarakat dalam Pasal 70. Berbagai proses penegakan hukum lingkungan dengan melibatkan aturan yang berlaku diharapkan mampu membawa dampak perubahan yang besar. Penegakan hukum sangat diperlukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan khususnya dalam kasus kebakaran hutan agar lingkungan dapat diperuntukkan dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Untuk itulah semua aspek yang ada harus mampu terlibat dalam penegakan hukum lingkungan khususnya bagi aparat penegak hokum khususnya polri harus dapat meresapi dan menerapkan berbagai aturan yang berlaku termasuk Undang-Undang agar tujuan penegakan hukum dapat tercapai yakni mewujudkan lingkungan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Salah satu cara yang terpenting dan paling berpengaruh adalah dengan penegakan hukum yang kuat agar tujuan pembangunan berkelanjutan berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup dapat teratasi secara nyata. Hal terpentingnya dalam penegakan hukum lingkungan hidup khusus terkait kasus kebakaran hutan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum dan peran masyarakat Penegakan hukum.

Sehubungan peran polri khususnya petugas Laboratorium Forensik dalam mengungkapkan pelaku atau tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan diperlukan pengetahuan dan peran tehknologi dalam mengungkap kasus kebakaran hutan yang terjadi.Salah satu pengetahuan yang harus dimiliki oleh petugas Laboratorium Forensik ilmu dasar tentang ilmu klimatologi. Secara harfiah klimatologi dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas mengenai sifat iklim disuatu tempat. Kenapa ilmu ini diperlukan, karena kasus kebakaran hutan dan lahan tidak terlepas dari 3 unsur yakni faktor iklim, bahan dan api. Biasanya dalam hal kasus karhutla kita bisa memanfaatkan tenaga ahli. Sedangkan secara tehcnologi petugas Laboratorium Forensik dapat dibekali dengan pengetahuan technologi seperti penggunan alat Drone, GPS, Citra landsate.Semuanya ini dapat dilakukan dengan bekerjasama pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.Sedangkan dari sisi tenaga penyedik Polri dapat memanfaatkan technologi pengindraan jarak jauh yang ada di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutan RI.Tindakan kepolisian tersebut setidaknya menunjukan adanya upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan.Lantas instrumen hukum apa yang hendak dipakai dalam menindak pelaku pembakaran hutan dan lahan ketika terdapat tiga undang-undang yang mengatur, dianataranya Menindak Pelaku Pembakaran Lahan Dan Hutan Secara Hukum Menggunakan Pendekatan Dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UndangUndang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PerlindunganDan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Baca Juga :  Teater: Man Jadda Wajada

Konsep hubungan sebab-akibat dalam hukum pidana merupakan bentuk pembuktian apakah benar suatu tindakan tertentu masuk kategori tindak pidana baik telah menimbulkan kerugian (delik materil) maupun belum menimbulkan kerugian (delik formil).Ketiga undang-undang tersebut hanya menganut ajaran melawan hukum materil dimana ada pidana ketika telah terjadi kerugian.Ajaran ini sejatinya tidak hanya menjadi penghalang dalam menjerat pelaku sebab baru ada pidana ketika terjadi kesalahan (delik materil).Padahal dampak dari kebakaran hutan dan lahan bersifat masif dan melintasi batas negara. 2. Pendekatan Baru Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan Dan Lahan Menggunakan Pendekatan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan dengan Pendekatan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (M Nurul Fajri) 56 Volume 2 Nomor 1 – Agustus 2016 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) secara tegas menyatakan dua dampak (unsur) dari tindak pidana korupsi, yaitu “yang dapat merugikan keuangan negara” atau “perekenomian negara”. Secara gramatikal, penggunaan kata “atau” merupakan alternatif pembuktian unsur dari tindak pidana.Memasukan dua tipe dampak kerugian sebagai alternatif tentulah disertai dengan maksud yang jelas dari pembuat undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 003/PUU-IV/2006 telah memberikan tafsir terhadap cara menghitung kerugian negara dengan cara menggunakan perhitungan oleh ahli. Namun tafsir tersebut tidak menjawab persoalan mengenai kepastian hukum dalam menghitung kerugian negara. Kelahiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu upaya mewujudkan cita-cita Negara Indonesia yang terhambat oleh pratik korupsi yang merugikan keuangan negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang ekonomi masyarakat secara luas.

Undang-Undang Tipikor menjelaskan, maksud dari keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh sendi kehidupan masyarakat.

Sementara itu definisi perekonomian Negara secara normatif lebih mendasar kepada usaha kolektif sistematis yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 yang memberikan alternatif pilihan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dapat dikatakan sebagai sebuah keuntungan penegakan hukum. Keuntungan karena tindak pidana korupsi (delik formil) yang telah benar-benar terjadi (actual loss) maupun potensi kerugian (potential loss), apakah kerugian keuangan negara, ataupun kerugian perekonomian Negara Makna kerugian perekonomian negara sebagaimana dimaksud UU Tipikor dapat diartikan segala sesuatu tindakan yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam UU Tipikor yang menghambat tujuan perekonomian negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur kerugian keuangan negara sebagai unsur dalam bentuk yang sempit dan unsur kerugian perekonomian negara sebagai unsur yang lebih luas.Tidak hanya itu, alternatif pilihan “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dapat diartikan sebagai strategi untuk memperluas ruang bekerjanya UU Tipikor untuk melawan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang harus diberantas dengan cara-cara yang luar biasa.

Baca Juga :  Membangun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Handal Dalam Menjalankan Revolusi Mental

Penjelasan dalam UU Tipikor terkait definisi perekonomian negara selaras dengan cita Negara Republik Indonesia yang termaktub dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.Segala usaha bersama dalam rangka perekonomian negara tersebut harus berorientasi kepada terwujudnya cita-cita Negara Republik Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Menurut Encyclopedia Americana, walfare state merupakan sebuah bentuk pemerintahan yang mempertimbangkan bahwa negara bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum warga negara (Siswono Yudho Husodo, 2009:65)
Dalam rangka menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan, pihak kepolisian dalam penyidikan baik korporasi dan perorangan, setidaknya memiliki tiga peringkat hukum yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Panduan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penjeratan hukum tersebut melalui pendekatan hukum pidana sebenarnya memberikan alternatif untuk menegakan keadilan.Namun rasanya ketiga undangundang tersebut dipandang tidak memberikan menjawab rasa keadilan.Dari perspektif pemikiran Jeremy Bentham bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan.Dalam hukum pidana ini berarti bahwa penerapan hukum (termasuk pengenaan sanksi pidana) haruslah membawa manfaat atau kebahagiaan bagi orang banyak. Jika dikaitkan dengan penerapan hukum dalam perkara demikian, yang seringkali kental nuansa korupsinya, maka penerapan hukum dengan mengenakan kedua ketentuan yang dilanggar, apalagi jika diikuti dengan pengenaan pidana yang berat akan mewujudkan kebahagiaan tersebut, apalagi dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang tidak kecil. Sehingga pendekatan UU Tipikor dapat dijadikan sebagai pilihan baru untuk dapat menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan. UU Tipikor bertujuan melindungi kepentingan negara dalam arti dipulihkannya kerugian keuangan negara, sementara UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU PPLH melindungi pemanfaatan dan keberadaan hutan dan lahan secara lestari menjadi alternative kolaborasia dalam penanganan dan penegakan hukum lingkungan, sehingga ke depannya akan menimbulkan efek jera bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan untuk mengulangi hal serupa.

DAFTAR PUSTAKA
Anika Ni’matum Nisa, Suharno: “ Penegakan Hukum Terhadap Permasalahan Lingkungan Hidup Untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Http://jurnal.fh.unpad.ac.id /index.php/jbmh/issue/Archive
Dicki Simorangkir, 2001, Tinjauan Singkat Kerangka Hukum dan Kelembagaan dalamPenanganan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, makalah dalam prosiding seminar sehari dengan tema: Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera, Bogor: ICRAF, CIFOR dan Uni Eropa.
Fajar Sugianto, 2013, Economic Approach to Law: Seri Analisis Keekonomian Tentang Hukum, Seri II, Jakarta:Kencana.

Ismail Saleh, Serias, 1990, Apa yang Saya Alami: Hukum dan Ekonomi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan dengan Pendekatan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (M Nurul Fajri) 66 Volume 2 Nomor 1 – Agustus 2016
Jeremy Bentham, 1879, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation,London: Oxford at the Clarendon Press.

Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti: Bandung.
Niniek Suparni, 1994, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Shidarta, 2013,Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.

Rei Pering Santaya,” Peran IT dan IndustriDalam Menghadapai Era Society 5.0”, Presdir Batam Aero Techine Siswono Yudho Husodo, 2009, Menuju Walfare State, Jakarta: Baris Batu.
W. Riawan Tjandra, 2014, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Close