Cerpen: Altruist Poem

Oleh Zulvenny Fatwa Firmananda

Ilustrasi (net)

Icy adalah seekor rubah merah. Icy tinggal bersama nenek Icy di desa. Tapi sekali dalam setahun Icy akan pergi ke kota untuk mengunjungi Ayah dan Bunda Icy.

Icy memiliki tiga orang saudara, tapi mereka berbulu putih. Ketika mereka berbicara, Bunda akan mendengarkan perkataan mereka dengan penuh perhatian, dan menjilat-jilat bulu mereka. Seperti orangtua dan anak pada umumnya.

Tapi tidak seperti saudara-saudara Icy, Bunda tidak pernah mendengarkan Icy, apalagi menjilat bulu Icy. Ketika Icy berbicara kepadanya, baru setengah kalimat, ia akan memalingkan wajahnya dan fokus pada hal lain..

Membuat Icy bertanya-tanya. Apakah Icy harus makan antena mobil dulu baru ia peduli?

Wajah Aini Citra memerah. Di depannya seorang pria bersandar pada tembok sekolah, tangan dimasukkan ke dalam saku, tertawa kecil setelah membaca sepenggalan cerpen itu.

Baca Juga :  Hemat Anggaran, Syamsuar Ajak Naik Pesawat Kelas Ekonomi

“Memalukan banget,” Aini menutup wajahnya. Suaranya bergetar. Aaah, orang itu membaca curahan hatinya di internet. Dan ia membacanya tanpa teks. “Untuk apa mengingat hal yang seperti itu..”

“Itu cerpen yang menarik,” komentar laki-laki itu. “Tapi perlu waktu untukku menyadari bahwa ‘Icy’ adalah akronim dari Aini Citra.” Aini menggeleng-geleng berusaha mengelak, tapi laki-laki itu tiba-tiba melangkah ke hadapannya, dan mengulurkan tangan. “Perkenalkan, aku Hendra Adiyatma. Jika kamu seekor rubah, maka aku adalah manusia.”

Hendra Adiyatma? Hendra Adiyatma yang itu? Verrified Account di website tempat ia menulis? Kenapa ada Hendra Adiyatma di sekolahnya!?

“A-aku memfollow akunmu. Aku membaca puisi-puisimu. Puisi-puisimu indah sekali!” ucap Aini. Ia menatap Hendra dengan kekaguman. Uwaaah… Ternyata aslinya begini, pikirnya. Hendra tidak termasuk ke dalam kategori cowok tinggi, tapi postur santainya itu tidak ada lawan. Ingatannya juga pasti bagus karena ia mengingat cerita Aini dengan sempurna. Dan.. bagaimanapun dialah yang menulis puisi-puisi yang menggetarkan jiwa itu. “Jadi pacarku, ya?”

Baca Juga :  Gubri Syamsuar Inginkan Jupel di Sejumlah Objek Cagar Budaya

Aaaargh, yang terakhir itu diucapkan tanpa pikir dulu. Ingin rasanya ia menampol diri sendiri.

Tanpa menarik tangannya, Hendra berkata, “Kalau begitu, coba kutip salah satu puisiku.”

“Ha?” Aini tampak terkejut. Jujur saja, ia tidak bisa mengingat puisi seperti itu. Ia mengingat rasa yang ditimbulkan dari membaca puisi-puisi Hendra sesaat sebelum tidur, tetapi tidak bisa mengingat kata perkatanya. Duh, adakah satu saja kalimat yang bisa kukatakan!?

Menyadari bahwa Aini tidak mengingat puisinya membuat Hendra menurunkan tangannya kembali, dan berkata, “Kamu tidak menyukaiku seperti itu, ya, ternyata. Ya sudah, Icy. Kutunggu karyamu selanjutnya,” ucap Hendra, berbalik dan pergi sambil melambai. Nada suaranya datar.

Baca Juga :  Karang Taruna vs Milenial, dan Tantangan Batam Kota Baru

Aini menatap punggung Hendra yang kecewa, yang semakin lama semakin jauh. Hatinya mencelos, sedih.

Tiba-tiba satu kalimat terlintas di kepalanya.

“Kamu menetapkan kesabaran begitu tipis.

Pada saat itu Hendra sudah jauh. Tapi angin mengalir lembut melewati dirinya menuju Hendra. Kata-kata itu tersampaikan.

“Kamu mengingatnya, ya,” Hendra menoleh dan tersenyum. “Kalau begitu, ayuk pacaran, Icy. Tapi aku ini sudah beristri.”

Dan begitulah penolakan cinta pertama yang ia dapatkan, dari seorang pria dengan selisih usia 9 tahun dengannya. Dari seorang guru honorer yang sering bolos, yang setelah kejadian ini, menjadi amat sangat sering bolos, hingga akhirnya tidak pernah tampak sama sekali.

Zulvenny Fatwa Firmananda adalah mahasiswa Program Studi Sastra Inggris, FIB Unilak

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *