Umrah Penuh Penyesalan

BAGAIMANAlAH caranya untuk menjawab pertanyaan yang selalu datang setelah saya dan keluarga pulang dari melaksanakan umrah awal pekan ini yakni bagaimana kesan melaksanakan ibadah itu. Untungnya, kawan saya Abdul Wahab, salah seorang yang bertanya tersebut, cepat paham ketika saya katakan, “Penuh penyesalan”.
“Iyalah, tentu menyesal. Menyesal, mengapa baru sekarang engkau umrah? Mengapa tak dari dulu-dulu lagi, ketika masih muda bedengkang sementara dari sisi ekonomi sedang tidak bermasalah. Ini sudah sya’i saja, engkau ngos-ngosan, betis sakit sampai satu hari. Nak ke masjid pun jadi berat. Gitu kan?” tanya Wahab.
Sambung Wahab, “Kau tak muda lagi kan? Lihat orang-orang di sekitarmu, masih muda dan energik. Tampak mereka begitu bersemangat melaksanakan rangkaian ibadah. Meski tidak tertua, engkau masuk ke dalam golongan manusia usia lanjut dalam rombongan. Hampir sempurna kisah ini ketika menyadari, terakhir engkau ke Tanah Suci adalah 17 tahun lalu. Begitu lama, bukan karena apa-apa, karena kau tunda-tunda akibat dunia”.
Saya tak membantah, sebab memang demikianlah adanya. Ketika tiba di Madinah, masuk ke dalam bus, ketakutan menerpa saya bersamaan dengan hawa panas yang membahang. Muncul dalam hati saya sebuah suara, kok baru sekarang datang? Macam-macamlah alasannya termasuk lebih mendahlukukan kepentingan lain, konon manusiawi. Sekarang pun, ah saya tak mampu mengingatnya karena malu.
Ketika rasa takut makin tinggi, saya coba menyembunyikan muka. Sandaran bus yang tinggi dan tebal, ternyata tak mampu menghalangi muka saya dari perasaan tak sedap. Seperti dulu, selalu saya menghindari pertanyaan emak, mengapa lambat pulang kampung ketika memasuki Syawal. “Tapi bagaimanapun engkau dah balik, walau di malam takbiran dan membahagiakan emak,” suara emak menyelinap di telinga saya.
Bersamaan dengan itu pulalah, timbul keberanian saya. “Ya, Allah, sekarang aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku siap menerima segala tiba, apakah sebagai hukuman dan hadiah, aku tak peduli—sebagaimana aku datang 25 tahun lalu tanpa amal bahkan berlimang dosa,” begitu kira-kira kata hati saya. Saya tegaskan pula, “Inilah pendosa, berada di tanah Nabi-Mu yang mulia”.
Tentu, bergegaslah saya berbuat apa yang bisa dibuat. Satu hal saja contohnya, saya bandingkan saat ke Tanah Suci tahun 1997 dan 2005, tak ada masalah dengan hal-hal semacam ini: Umrah tambahan berkaki-kali dilakukan, tak ada betis yang sakit. Kini saya sudah angkat tangan setelah umrah tambahan kedua dilakukan. Baru sekarang saya merasakan bahwa usia tidak pernah berdusta, saya terus melemah dan melemah.
“Cuma bukan itu betul yang menyebabkan saya menyesal Hab. Tapi kita tidak bisa sebebas dulu, sebelum pandemi Caovid-19. Sebelumnya, setiap hari kita bisa ke Raudah dan sholat di Hijir Ismail yang sama artinya ibadah di dalam Ka’bah. Lima hari di Madinah hanya sekali dapat memasuki Raudah, itu pun bersama rombongan dengan waktu yang sudah macam dijatah. Saya dipapah oleh tentara justru untuk mengakhiri doa, duh…”.
Ke Hijir Ismail, jauh panggang dari api. Untuk masuk ke pelataran Ka’bah saja, saya harus menyamar yakni menggunakan kain ihram yang tidak sanggup saya lakukan. Mencium Hajar Aswad, jadi tinggal kenangan meskipun membuat saya semakin takzim ketika melambainya saat tawaf. Bismillahiallahuakbar!
Begitu saja kemudian muncul dalam hari saya, walau tidak bisa masuk ke Raudah bila-bila masa, tapi saya harus dapat memandang mimbar Nabi setiap hari, titik dakwah Isam terbesar di dunia. Tiga waktu sholat saya laksanakan di masjid yang lebih awal, hanya berjarak sekitar enam meter dari mimbar, sedangkan pada waktu Maghrib dan Isya, saya memilih duduk di majelis ilmu syarahan ulama asal Kampar, Riau, Syekh Dr. Ariful Bahri, M.A.
Saya harus melintasi masjid Nabawi dari ujung ke ujung, sebab saya masuk dari pintu 19, sedangkan bangunan awal masjid bisa masuk dari pintu tiga. Suatu angka yang mempesona saya ketika sedikit mempelajari elemen tasawuf tahun 80-an, menjadikan angka sebagai simbol untuk mendekatkan diri kepada Allah. Angka 19 disebut sebagai angka Allah, misalnya diperlihatkan melalui jumlah huruf dalam Bismillahirrahmanirrohim.
Ketika di Makkah lain lagi. Kecuali bakda Maghrib, saya harus dapat membawa istri saya melihat Ka’bah. Istimewanya tentu waktu Subuh. Setelah isrok, kami janji ketemu di pintu 91, kemudian menyelusuri areal sya’i lantai satu. Berhenti di situ, menatap Ka’bah sambil bershalawat, sekitar 20 menit kemudian, kami mengerjakan duha bersama-sama. Memandang Ka’bah, kata pembimbing Dr Kariman Ibrahim, M.A., kita tidak pernah akan puas sebagaimana kita memandang bayi, tapi anggota tubuh juga menuntut hal lain termasuk sarapan, sehingga kami harus pergi untuk datang kembali. Tapi bersamaan dengan itu pula rundu kepada cucu yang masih berumur enam bulan, Muhammad Kafka Jamil, terus menggelora.
Tak disangka apa yang terjadi pada hari Kamis, 15 September 2022. Travel yang memberangkatkan kami, Bimalyndo Hajar Aswad, memprogramkan ziarah ke berbagai tempat antara lain Jabal Rahmah. Ya, Allah, tempat itu juga disebut sebagai bukit kasih sayang, yang merupakan tempat pertemuan Adam – Hawa. Cukup saya dan istri saya saja yang tahu saat itu bahwa pada tanggal demikian, kami meraikan 31 tahun pernikahan kami, sehingga berdoa di Jabal Rahmah tentu menjadi lebih memiliki kesan tersendiri.
Hampir penuh kesannya, ketika keluar dari Arab, saya genap berusia 59 tahun, 19 September 2022. Saya tafsirkan bahwa Allah menginginginkan saya merenung sendiri, sehingga selama delapan jam lebih, tidak duduk bersebelahan dengan istri setelah 12 hari kami senantiasa bersama, walaupun sudah diusahakan berganti tempat duduk sesama rombongan. Saya tidak ngotot, mengingat pada hakikatnya hari jadi memang urusan pribadi dan pribadi itulah yang mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Sesuatu yang sudah kami rencanakan, tetapi ada hal lain yang telah menjadi keputusan-Nya, alhamdulillah.
Kesan? Tak ada yang tidak berkesan pada setiap aktivitas di dua tanah suci tersebut. Memang, fasilitas di Madinah dan Makkah makin modern dan tertib, tetapi kesannya tetap membuncah dalam hati sebagai milik pribadi. Sebab sebagaimana juga haji, umrah pun sebagai sesuatu yang multidimensional; tidak ihwal ibadah saja, tetapi juga sosial sekaligus individu. Maka keinginan untuk datang lagi ke kedua tempat itu adalah jawaban untuk pertanyaan yang dilontarkan pada awal catatan ini, “Apa kesan melaksanakan umrah?”