Dari Pantun Atui ke Nolam
Oleh Alvi Puspita

Alvi Puspita
“Tapo-apo kojo Waang ma. Samo jo menelanjangi kami Waang go!”
Kami pun tertawa mendengar cerita Pak Salman (Maestro Pantun Atui). Pak Salman dimarahi para Uwo (sebutan nenek di daerah Bangkinang, Kampar) karena beliau memperdengarkan bait Pantun Atui di tengah khalayak ramai. Cerita Pak Salman mengingatkan saya pada pengalaman tahun lalu bersama Niok Ruani dan Mak Itam yang saya tuliskan pada tulisan saya sebelumnya tentang Pantun Batobo.
Terdapat hal yang sama antara Uwo-Uwo yang menegur Pak Salman dengan Niok Ruani dan Mak Itam, yaitu rasa malu karena sesuatu tidak diletakkan pada tempatnya. Pantun Batobo yang cenderung berisi luapan perasaaan si pemantun sekaligus juga sebagai pengobat penat saat bekerja, hanya didendangkan di tengah sawah. Jauh dari perkampungan.
Di tengah sawah, yang akan mendengarkan pantun hanyalah para anggota Tobo saja. Ibaratnya sebatas sesama komunitas yang tentu membuat kita lebih leluasa untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaan. Dalam ruang itu, tidak ada relasi Mamak-Kemenakan, uwang sumondo, adiok-badiok, pun orang tua-anak. Maka, bait kobau godang susukan anak/uwang kubalo di dulak tan, ocu di dalam uwang banyak/ suagho indak katukauan/, bisa dengan lancar meluncur dalam dendangan gadis tobo.
Begitu pula dengan bait-bait Pantun Atui. Berdasarkan wawancara dengan Pak Salman, Pantun Atui merupakan pantun untuk memuja orang yang dikasihi. Memuji pasangan. Dibacakan dalam kesendirian, tidak dalam keramaian. Pantun ini merupakan pantun berkait yang dibacakan saban malam. Satu malam bisa tiga atau lima pantun, empat atau dua. Menurut Pak Salman, Pantun Atui tidak berhubungan dengan mistis, karena tidak memakai mantra. Hanya keyakinan yang kuat. Meluahkan isi hati dengan membayangkan sang pujaan dengan tujuan pujaan tersebut dapat merasakan perasaan yang sama. Cinta berbalas cinta. Rindu berbalas rindu.
Pantun Atui dibacakan dengan keyakinan tingkat tinggi akan dunia akhirat. Rasa yang muncul pada diri penutur pantun demikian dalam, melintasi dunia ini hingga sampai ke akhirat. Pada saat menuturkan pantun, pemantun atui sambil membayangkan dengan konsentrasi penuh orang yang diingini.
Berdasarkan keterangan dari Pak Salman, maka Pantun Atui difungsikan untuk menyampaikan isi hati kepada yang dituju, sehingga orang yang dituju teringat dan terpikir terus akan kita. Karena fungsi yang demikian maka pantun ini tidak didendangkan dalam keramaian. Jika siang, tengah ladang dan komunitas Tobo adalah ruang bagi Pantun Batobo maka malam hening dan kesendirian adalah ruang untuk Pantun Atui.
Lain halnya dengan kedua jenis pantun tersebut, Nolam atau Manolam atau disebut juga Nazam adalah jenis sastra lisan Kampar yang diperdengarkan di tengah perkampungan. Biasanya diselenggarakan pada peringatan Hari Besar Islam seperti Isra’ Mikraj dan Maulid Nabi atau juga acara-acara seperti khitanan, turun mandi, atau juga syukuran setelah panen padi. Pemilik rumah mengundang penutur Nolam untuk melantunkan syair-syair Nolam. Berdasarkan wawancara dengan Ciok Oik dan Mak Itam selaku penutur Nolam, pada tahun 1990-an, sastra lisan ini eksistensinya masih kokoh. Nolam menjadi hiburan yang bermakna bagi masyarakat kampung. Jika ada orang Manolam, maka rumah penyelenggara akan penuh sesak hingga tumpah ruah di halaman. Pada bulan Rajab, Mak Itam bercerita hampir tiap malam ia mendapat undangan untuk Manolam.
Dengan demikian ruang untuk Nolam adalah khalayak ramai. Mengapa demikian? Hal ini berkaitan dengan isi dan fungsi sastra lisan tersebut. Isi dari Nolam adalah nasehat-nasehat yang mengingatkan akan alam akhirat, hidup setelah mati, juga memperkuat kecintaan pada baginda Rasulullah Muhammad SAW serta memperkuat tauhid pada Allah. Fungsinya sebagai pedoman nilai dalam menjalani kehidupan. Islam yang menjadi landasan. Hal ini setidaknya tampak dari beberapa kutipan dari teks Nolam berikut :
Elok bonau si buruong bayan
Buruong tapawuik di sangkau rotan
Kalau baamal harap pujian
Tolu diboli jadi kalimbongan
Bakato pulo si buruong olang
Di awang-awang maimbau kawan
Sangko iduik lai kan sonang
Kigho tambah susah kalau dunio kan diangan-angan
Pada bait pertama berisikan nasehat agar beramal haruslah ikhlas demi Allah semata. Karena kalaulah beramal karena mengharap pujian dari manusia diibaratkan membeli telur yang kemudian telur tersebut berubah jadi telur busuk (kalimbongan). Bukan manfaat bagi diri yang diperoleh melainkan sesuatu yang buruk.
Sementara pada teks kedua mengingatkan tentang tujuan sebenarnya dari hidup di dunia yaitu mempersiapkan diri untuk alam akhirat. Dunia hanyalah tempat persinggahan untuk mengumpulkan bekal pada perjalanan berikutnya. Banyak kita tertipu pada kesenangan dunia dan larut di dalamnya. Padahal dalam teks Nolam di atas dikatakan sangkakan hidup akan senang rupanya kesusahan yang didapat jika dunia yang selalu diangan.
Begitulah, Pantun Batobo, Pantun Atui dan Nolam sebagai bagian dari khazanah sastra`lisan Kampar memiliki ruangnya masing-masing. Para penuturnya sadar akan itu. Sehingga para pemantun tidak akan sembarang berpantun. Masyarakat pemilik sastra`lisan tersebut pun memiliki kontrol sosial yang kuat terhadap apa yang patut dan tak patut sebagaimana yang dilakukan oleh Uwo-Uwo terhadap Pak Salman. Hal ini memberi pengajaran tentang kepatutan. Sawah mestilah ada pematang. Mesti ada kesadaran akan ruang dan batas agar hidup beroleh selamat. Ada adab yang harus dijaga. Pada tutur dan tindakan awaslah hendaknya. Apatah lagi di tengah cabaran zaman kenen ini yang semakin tidak peduli pada ‘batas’.
Lalu soalan apakah dengan demikian mesti mengembalikan masing-masing jenis sastra lisan tersebut pada ruangnya sebermula, insyaAllah akan dibahas dalam tulisan berikutnya karena hal tersebut berada dalam konteks yang berbeda yaitu soal bagaimana mempertahankan eksistensi sastra lisan pada zaman teknologi informasi sekarang ini. Sementara tulisan ini semacam perenungan atas apa hal yang bisa diperoleh ketika mengkaji sastra lisan yang salah satunya adalah pengetahuan tentang ruang dan konteks dari sebuah sastra lisan.
Rumbai, 7 Juli 2023
Begitulah Pak Salman Aziz (Maestro Pantun Atui) bercerita saat kami mengunjungi beliau di Desa Binuang, Bangkinang Seberang, Juni tahun lalu.
Alvi Puspita adalah dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning Pekanbaru