Melayu dari Palestina
Kolom Taufik Ikram Jamil

MAKIN menggelitik tampaknya hati kawan saya Abdul Wahab, hendak memperkatakan hubungan Melayu dengan Palestina ketika tahu bahwa tabligh akbar di Masjid Raya An-Nur, Pekanbaru, Jumat malam (10/11), dengan menghadirkan Datuk Seri Ulama Setia Negara Ustadz Abdul Somad, bertemakan Dari Melayu Riau untuk Palestina. “Tidak sebatas hubungan keyakinan dalam kaitan Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS) dengan Palestina sebagaimana diterangkan Ustadz M. Asrori ketika memberi sarahan dalam Majelis Dzikir Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Selasa malam lalu (07/11),” katanya lewat telepon gengggam.
Ya, Wakil Sekretatis Majelis Dakwah Islamiah (MDI) Pekanbaru itu, mengingatkan bahwa mendoakan keselamatan Palestina bahkan membantu berbagai keperluan warganya yang diluhlantakkan oleh Israel itu teramat penting dan berhubungan langsung dengan Indonesia, Riau khususnya. Pasalnya, antara lain Nabi Ibrahim AS yang berasal dari Mesir, justru menuju Palestina dari Makkah. Sedangkan manusia suci itu adalah bapaknya sejumlah para nabi dan rasul, termasuk Muhammad SAW yang memperkokoh keberadaan Islam sampai menjadi agama mayoritas rakyat Indonesia.
Kepada Wahab yang bermastautin di kawasan Selat Melaka tersebut, saya mengatakan bahwa saat Ustadz Asrori berkata seperti itu, saya hendak menyambungkannya dengan fakta hubungan lebih spesial terbaca karena kuat dugaan Nabi Ibrahim AS memiliki hubungan darah dengan Melayu baik sebagai bangsa maupun suku. Tapi apa daya, saya tidak memegang mikrofon, sehingga niat itu saya simpan dalam hati saja sambil terimgat perjalanan ke berbagai kota di Riau dalam beberapa tahun terakhir, berjumpa dengan guru-guru budaya Melayu Riau yang tidak lepas dari pembicaraan mengenai hubungan Nabi Ibrahim dengan Melayu. Apa pasal?
Ya, pada gilirannya, berbicara Melayu tentu juga membicarakan dari mana dia berasal kan? Pendapat umum yang sejak lama bahwa Melayu berasal dari Cina Selatan, makin banyak terbantahkan seiringan dengan temuan baru baik dipandang dari sejarah maupun genetik. Banyak dibicarakan tentang Melayu sebagai keurunan Nabi Ibrahim AS, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Begitu mudah ditemukan di jaringan maya keterangan mengenai hal ini baik berupa naskah tulis maupun video.
Di antaranya adalah keterangan yang dibuat Ahmad Yanuana Samantho, S.IP, MA, seorang akademisi & peneliti sejarah, filsafat, budaya-peradaban dan agama-agama, di Teropongsenayan.com, 23 Fenruari 2016. Beberapa tahun sebelumnya, ihwal ini juga ditulis di www.melayu.or.id. Di saluran youtube, ada keterangan Ustadz Badlish Alaudin, malahan oleh seorang guru besar di Malaysia, Prof Dr Mat Rofa Ismail. Disebutkan bahwa selain Sarah dan Hajar, kekasih Allah tersebut memiliki dua isteri lagi, yang ketiga adalah Siti Kenturah (Siti Qanturah/ Qatura/ Keturah), orang yang daerahnya kini masuk dalam negara Palestina. Perempuan ini dinikahi Nabi Ibrahim AS atas permintaan Nabi Ishak AS setelah ibunya, Sarah, meninggal dunia dalam usia 127 tahun.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa pernikahan Nabi Ibrahim AS dengan isteri ketiga ini menghasilkan enam orang anak. Mereka adalah Zimran, Jokshan, Medan, Midian, Ishbak dan Shuah. Pada suatu ketika, mereka merasa lebih rendah dibandingkan Ismail AS dan Ishak AS, bahkan dengan keponakan mereka sendiri yakni Nabi Yakub AS karena tidak “berstatus” sebagai nabi maupun rasul. Tetapi beberapa saat akan meninggal dunia, Nabi Ibrahim AS memanggil mereka semua bersama Nabi Yakub AS dan berwasiat bahwa mereka harus meneruskan dakwah di suatu kawasan yang sempat disinggahi Nabi Ibrahim AS selama sembilan tahun sebelum ia menetap di Palestina. Tugas ini disambut dengan suka cita karena mengandung kerja sebagai nabi maupun rasul antara lain menyerukan nama Allah Yang Mahaesa.
Putra-putra Nabi Ibrahim AS dari hasil pernikahannya dengan Keturah itu kemudian meyebar ke kawasan Melayu sekarang melalui Vietnam atau Campa (ada juga yang mengaitkannya dengan Kampar), kawasan yang sempat didakwahui Nabi Ibrahim AS. Seorang di antaranya yang paling menonjol, tetapi belum dapat dipastikan sampai sekarang, dihormati sampai kepada pemakaian nama suku Kenturah yakni Mala. Dalam kaitan ini dipercayai bahwa nama bangsa maupun suku Melayu berasal dari nama bangsa Siti Kenturah tersebut yakni Mala (Malayu). “Jadi, bisa jadi, orang Melayu termasuk orang didoakan Nabi Ibrahim AS yang terkenal itu agar Allah memuliakan zuriatnya dan menjadi pemimpin bagi orang bertakwa,” kata Wahab.
Saya tidak langsung menjawab pernyataan kawan sejak kecil itu, tetapi teman lain menceritakan bahwa ketika tahun lalu saat mengerjakan umrah, beralas pengetahuan sejengkal mengenai asal-usul Melayu dalam kaitannya dengan Siti Keturah itu, dia tidak dapat membendung air mata ketika melewati Maqam Ibrahim saat mengerjakan tawaf. Lirih ia berucap di pelataran Ka’bah, “Wahai Allah, jika benar hamba Melayu ini memiliki hubungan darah dengan Nabi Ibrahim AS, sampaikan juga doa kekasih-Mu itu kepada hamba untuk menjadi orang yang bertakwa.”
Syahdan, asal-usul itu tidak saja ditelusuri dari sejarah maupun hidup berpola seperti pertanian, tetapi juga genetik. Sejumlah guru besar di Univeritas Kebangsaan Malaysia (UKM) meneliti bahwa DNA yang dipunyai Melayu memiliki kemiripan dengan Eoro Semetik yang dianggap sebagai keturunan Nabi Ibrahum AS sebesar 27 persen. Bandingkan dengan apa yang diungkapkan oleh Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Sangkot Marzuki, dalam Seminar Melayulogi di Pekanbaru tahun 2010 yang menjelaskan bahwa dari pemetaan genetika oleh 99 ahli genetika di Asia, terungkap genetik orang Melayu lebih tua dibandingkan dengan orang Cina, khususnya dengan Yunan yang selama ini dianggap sebagai nenek moyang Melayu. Gen paling tua adalah Arab, disusul Melayu, Cina, dan India.
Jika nama Melayu itu kemudian diiringi sebutan “Riau”, hal itu hanyalah suatu pertanda bahwa Melayu yang dimaksudkan di sini, apalagi dikaitkan dengan tabligh akbar untuk Palestina sebagaimana disebutkan di atas, adalah Melayu di wilayah administrasi provinsi Riau, tidak terlepas dari Melayu secara umum. Tidak secara kebetulan pula, jjka daerah ini merupakan salah satu titik utama pengembangan Melayu bersama Palembang, Bintan, Melaka, dan Johor.
Nabi Muhammad SAW diperkirakan sempat menyebut kawasan ini dalam rangkaian Sriwijaya dengan istilah Samudera, yang salah satu pusatnya terletak di Muara Takus, Kampar, Riau. Disebutkan bagaimana orang di kawasan tersebut berbonding-bondong memeluk Islam, dan banyak wali Allah terlahir dari sini. Setidak-tidaknya, Muara Takus, adalah Kemaharajaan Melayu yang meminta Khalifah Umar Abdul Azis mengirimkan guru agama Islam ke wilayah ini sebagaimana ditulis oleh sejarawan Malaysia Hasan Yusof di The Patriots, 26 Oktober 2016, berdasarkan surat bertarikh awal abad ke-9 yang tersimpan di Madrid, Spanyol.
Lalu, pada gilirannya, rasa tabik yang besar harus diberikan kepada penyelenggara Tabligh Akbar Dari Melayu Riau untuk Palestina, di Masjid Raya An-Nur, Pekanbaru, Jumat malam (10/11). Suatu kegiatan yang tidak saja menyadarkan kekinian bagaimana kemanusiaan dihancurkan puluhan tahun, tetapi masa lalu, bahkan kepada diri sendiri. Ya, suatu tragedi yang ternyata terjadi di negeri sendiri karena salah satu tempat asal Melayu adalah Palestina…Wallahua’lam.